Oleh: Muhadam Labolo
KRISIS global kini menandai gerak sebagian dunia. Setidaknya pada rasialisme, lingkungan, dan kekuasaan. Rasialisme menguat kembali pada sejumlah komunitas akibat meningkatnya dominasi kelompok. Lebensraum menjadi alasan meluapnya populasi dan migrasi hingga menghimpit komunitas minoritas dan pribumi. Eksesnya perambahan dan deforestasi.
Krisis lingkungan menandai dua dekade terakhir. Sedemikian parahnya hingga begawan sekelas Emil Salim (2023) tak sudi menerima penghargaan lingkungan karena gagal mengantisipasinya. Sumber daya alam kini menjadi semacam alat tukar dengan kuasa jangka pendek. Lingkungan sebagai penopang hidup kehilangan arti bagi kelangsungan ekosistem.
Kedua krisis tersebut ditengarai bersumber dari kompetisi kuasa. Inilah krisis yang meluas dari global ke tingkat lokal. Hasrat berkuasa tak hanya mendorong peminggiran, lokalisasi, bahkan genoside. Mereka yang lemah diperangi, diintimidasi, dikucilkan dalam sistem sosial bernegara. Beberapa negara di Timur Tengah, Asia, dan Afrika contohnya.
Kekuasaan kehilangan panduan etika dan moral dalam kompetisi. Transaksi kuasa dilegitimasi sepanjang tercapai kepentingan praktis. Ide Machiavelli realistis dibanding mempraktekkan gagasan Socrates, Plato, Aristoteles, Abu Bakar Assiddiq, atau Ibnu Khaldun misalnya. Lebih praktis menerapkan kitab Il Principe daripada menjunjung etika dan moralitas.
Kekuasaan kini dikendalikan mayoritas Borju dan Pandir. Akibatnya, pemilu sebagai metode menyisihkan terpilihnya kaum bodoh, khianat, dan pembohong gagal melahirkan kepemimpinan sebaliknya, amanah, cerdas, dan jujur. Produk dari filter bermasalah itu mencipta kepemimpinan minim sensivitas. Kecuali demagog dalam balutan citra yang di produk oleh pabrik buzzer & influenzer.
Kekuasaan dengan sengaja memperkosa perangkat hukum agar selaras dengan kebutuhan kelompok. Hukum sebagai panglima rontok oleh kekuasaan tuna nilai. Hukum kehilangan daya ikat untuk semua, kecuali untuk dinasti. Eksesnya hukum tak membuahkan cita-cita sucinya, yaitu keadilan bagi semua (erga omnes).
Bila hukum adalah panglima sejogjanya politik adalah raja. Bukankah hukum hanya produk dari pekerjaan teknis politik. Masalahnya, krisis kekuasaan menjadikan politik kehilangan kepercayaan (distrust). Apesnya bila kelakuan politik disama-artikan dengan ilmu pengetahuan politik. Eksesnya ahli politik tak banyak dihargai dibanding penutur hukum tata negara.
Mesti dipahami bahwa nilai tertinggi filsafat politik tak lain kecuali keadilan. Sebab itulah ketika Ia diturunkan kedalam pemikiran politik tetap saja yang di tandu adalah keadilan. Produk praktisnya adalah hukum positif berkeadilan. Tinggal mencari metode, seni dan cara praktis seperti apa agar cita keadilan itu mewujud dalam hidup bernegara.
Kemampuan ahli politik merawat nilai tertinggi itu dapat diwujudkan manakala cabang keilmuan teknisnya berperan aktif. Sebagai contoh bagaimana kebijakan publik, administrasi, hukum, dan pemerintahan bertindak tanpa melupakan esensi politik itu sendiri, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat (Indonesia).
Inilah akar dari krisis global itu, hilangnya nilai dalam kuasa. Politik mesti dipahami pada aras kosmologi, yaitu mengelola hidup untuk mencapai tujuan kolektif (Aristoteleisme). Bukan sekedar beroperasinya kekuasaan secara teknis (Machiavellisme). Itulah mengapa politik tak hanya dipelajari sebagai sains, juga pengetahuan, metode, terapan, juga seni tentang bagaimana mengelola hidup bersama (public).
Mungkin perlu diperhatikan kata ahli ilmu politik UI, Mulyadi (2024), bila ahli BMKG tak pernah dipersoalkan menyatakan ramalan cuaca berbahaya atau sebaliknya, semestinya pakar politik pun tak dianggap musuh negara atas kesimpulan dan prediksinya. Tentu saja yang dimaksud disini benar-benar ahli politik, bukan pengamat politik, apalagi surveyor politik yang disewa sesuai kepentingan politik. *
Discussion about this post