Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
“….. semakin baik kualitas demokrasi sebuah bangsa maka akan berbanding lurus dengan kualitas birokrasi nya, sebaliknya semakin baik kualitas birokrasi sebuah bangsa akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi kualitas demokrasinya…..” (Maruf Bantilan: 2003, Tolitoli di awal reformasi: catatan singkat seorang Bupati di era otonomi Daerah).
Kualitas Birokrasi
Menarik untuk disorot dan digaris bawahi pernyataan Presiden Joko Widodo pada HUT Korpri tanggal 3 Oktober 2023 bahwa Birokrasi Indonesia masih berjalan ditempat dan sibuk dengan kerja-kerja rutin yang sangat jauh dari Inovasi dan kreativitas.
Sebagian besar kesibukan Birokrasi hanya mengurus SPJ (Surat pertanggung jawaban keuangan & surat perintah perjalanan dinas).
Pernyataan Presiden joko Widodo ini bukanlah opini, tetapi merupakan fakta konkrit yang sulit disembunyikan.
Bahkan Jokowi pernah melihat kegiatan penanggulangan stunting pada APBD disebuah Daerah dimana 80% (delapan puluh persen) kegiatannya berisi perjalanan dinas, dan sisanya yang 20 % baru berisi kegiatan intinya.
Kualitas Birokrasi kita masih jauh panggang dari pada api. Kualitas pelayanan birokrasi tidak berbanding lurus dengan harapan masyarakat, dimana kemajuan masyarakat sudah berlari kencang dengan kecepatan 100 km / jam tetapi sangat disayangkan kualitas pelayanan birokrasi baru mencapai kecepatan 30 km / jam.
Sistem seleksi Jabatan mulai dari eselon IV (empat) hingga eselon II ( dua) bahkan eselon I (satu) tidak menghasilkan pejabat yang punya kompetensi dan profesional dalam bidang tugasnya.
Rata-rata pejabat yang dinyatakan lulus seleksi, bukan karena pertimbangan kompetensi dan kemampuan, melainkan pertimbangan kedekatan dan pertimbangan politik yang sangat kental dan berbau uang.
Kasus Pengangkatan Sekda Provinsi Sulawesi Tengah, bukan rahasia lagi, Gubernur Sulteng Rusdi Mastura mengusulkan nomor urut 1 (satu) Dr. Fahruddin Yambas, M.Si sebagai calon terbaik karena memiliki nilai tertinggi berdasarkan hasil seleksi, tetapi yang ditetapkan Presiden adalah nomor urut 3 (tiga).
Ini bukanlah salah Presiden Jokowi, karena beliau hanya menandatangani berdasarkan pertimbangan dari bawah. Ada tangan-tangan yang bermain nakal saat pengangkatan dalam jabatan struktural, dan publik sudah mengetahui itu.
Padahal ada banyak ASN yang memiliki kompetensi dan berintegritas untuk duduk dalam sebuah jabatan, namun semua itu dikalahkan oleh pertimbangan kedekatan, politik dan uang.
Kualitas Birokrasi akan terus berjalan ditempat, bila pola-pola seleksi SDM masih seperti saat ini.
Akan ada banyak jabatan ASN yang nantinya akan diisi oleh anggota TNI dan Polri, dan hal itu sudah diatur dan tertuang dalam revisi UU ASN yang baru disahkan oleh DPR-RI.
Bila dilakukan seleksi terbuka jabatan birokrasi antara ASN-PNS dan TNI-Polri maka sudah dapat diyakini dan publik meyakini itu bahwa TNI-Polri akan menggunguli seleksi terbuka itu.
Mental ASN-PNS Indonesia saat ini lebih menyenangi cara-cara yang cepat dan melompat cepat dari pada harus meniti karir dari bawah pada zona-zona sulit.
Berbeda dengan TNI-Polri, mereka sudah terbiasa dengan zona-zona sulit.
Mental ASN-PNS yang lemah menyebabkan mereka lebih senang dan happy bila ditempatkan di jabatan-jabatan basah dan hallo-hallo bandung, dan mereka bersedih bila ditempatkan di jabatan kering yang ibaratnya lagu Padamu Negeri.
Jabatan staf ahli di daerah, itu menurut para ASN adalah jabatan buangan dan dianggap sebuah hukuman.
Discussion about this post