Sementara itu, Ketua Departemen Pengembangan Organisasi EW LMND Sulteng Saharudin Ahaba menerangkan, ketidakseriusan pemerintah dalam mengangkat potensi sumberdaya alam nonpertambangan menjadi satu pemicu masyarakat menerima pertambangan.
Hal tersebut tercipta akibat penderitaan rakyat dalam bidang ekonomi serta ketidakpedulian pemerintah dalam mengangkat ekonomi rakyat di bidang nontambang.
Ekonomi kita sambung Saharudin, masih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam yang sering diwarnai dengan perampasan lahan, pengusiran penduduk, dan kekerasan.
“Kenapa masyarakat kita masih percaya dengan ekstraktivisme sebagai jawaban dari problem ekonomi kita. Karena ada ketidak-seriusan pemerintah dalam mengangkat potensi sumberdaya alam non pertambangan,” kata Saharudin.
Pertambangan dan pariwisata di Kabupaten Banggai dan sekitarnya, saat ini menjadi perbincangan semua kalangan. Disebabkan, beberapa obyek wisata bersingungan dengan wilayah pertambangan.
Misalnya, masuknya beberapa izin usaha pertambangan batu gamping di zona Karst Banggai Kepulauan. Hal itu dapat mengancam eksistensi wisata Danau Paisupok, Tendentung dan wisata alam lainya.
Saat ini pertambangan dan pariwisata memang menjadi dua sisi koin mata uang.
Di satu sisi pertambangan selalu lekat dengan pencemaran lingkungan dan ekspolitasi sumberdaya alam. Disisi lain pertambangan dapat meningkatkan ekonomi secara cepat, dibanding pariwisata yang perlu waktu cukup panjang dalam merintis dan mengampanyekan objek wisata.
“Padahal Pemerintah Provinsi Sulteng saat ini lagi mempromosikan wisata daerah ke dunia. Antara lain menjadikan Sulteng 1.000 megalit,” tutup Saharudin. *
Discussion about this post