Oleh: Muhadam Labolo
SIRKULASI kekuasaan tinggal menghitung hari. Pemilu menjadi media efektif melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang paling di percaya. Sekurangnya di percaya untuk lima tahun kedepan. Untuk maksud itu, para pemimpin berangkat dari rel jangka panjang, atau visi dimana pemimpin dapat membawa realitas hari ini ke masa depan yang lebih optimistik.
Di atas rel itu perencanaan di tata dari masa ke masa. Tak penting siapa pemimpin yang akan terpilih. Tanggungjawab moralnya menyambung bagian yang selesai sebagai rangkaian gerbong yang tak boleh putus. Untuk semua itu semua calon pemimpin penting memiliki kemampuan melihat masa depan sejauh-jauhnya (visionable).
Kemampuan menjangkau masa depan itu untuk memastikan rangkaian gerbong menuju tujuan idealnya, kesejahteraan rakyat, sebagaimana tertera dalam konstitusi. Supaya sampai, ada baiknya seluruh kebijakan berfokus pada rel itu agar tak hanya saling menarik, juga tercipta getaran kebijakan yang saling mendukung (Nugroho, 2023).
Getaran kebijakan itu setidaknya mampu memicu bagian terbawah dalam relasi strukturalnya, rakyat kebanyakan. Sisi horisontalnya, bergeraknya kelembagaan negara yang bertanggungjawab membuahi kebijakan menjadi realitas kesejahteraan, bukan saling menindih, melecehkan, menghina, melempar tanggungjawab, bahkan brutal melenyapkan.
Bersandar pada asa jangka panjang itulah kita menanti datangnya negarawan (statemanship), ratu adil menurut mitologi Jawa, atau mungkin Imam Mahdi menurut perspektif kaum idiolog agama. Negarawan tak hanya bertugas menjawab kebutuhan masa depan, juga membebaskan, mencipta keadilan, sekaligus memutilasi berbagai kedzoliman.
Menanti hadirnya negarawan rasanya tak terbendung lagi, sebab kita merasa di hipnotis para politisi saban pemilu. Jualan jangka pendek membuat kita mati gaya. Gaya yang semestinya mengayun langkah kita hidup lebih baik di masa depan, tidak terpelanting oleh desakan antrian kebutuhan jangka pendek, pertukaran sembako. Semua itu terlalu murah, dan menghina.
Negarawan mewakafkan dirinya untuk orang banyak. Membiarkan dirinya meleleh seperti lilin sebagai bentuk pengorbanan. Pengorbanan itu hanya untuk memberi cahaya di kegelapan, atau menuntun kita ke jalan yang sebenarnya. Sebab itulah nasib negarawan tak banyak berubah, kecuali hidup apa adanya, bahkan di banyak contoh, menderita.
Kita butuh negarawan di tengah pengakuan dan kesadaran bahwa negara tidak dalam keadaan baik-baik saja. Politisi memang banyak, namun menemukan negarawan ditumpukan jerami para calon pemimpin kini kian sulit. Tak hanya ruang tumbuh-kembangnya yang makin sempit, juga keberanian dirinya yang semakin berkurang.
Mencari sosok negarawan Soekarno yang berani melakukan nasionalisasi bagi aset masa depan, Hatta yang mampu meletakkan ekonomi bagi kemakmuran bersama, Jenderal Soedirman yang sanggup mengusir penjajah bagi masa depan negaranya, eks Kapolri Hoegeng yang mampu menegakkan integritas bagi contoh penegak hukum, atau Ahmad Dahlan yang mampu membangun pondasi pendidikan bagi investasi kemajuan bangsanya, rasanya seperti mencari jarum di tengah tumpukan rumput. *
Discussion about this post