Banyak hal yang publik belum mencerna dan memahami bahwa kewajiban melaksanakan Undang-undang Dasar, Undang-undang dan peraturan Pelaksanaan lainnya harus berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai contoh: dalam penerimaan CPNS. Salah satu sarat adalah Warga Negara Indonesia, tidak berarti anak gubernur, anak Bupati bahkan anak Menteri sekalipun adalah warga negara indonesia yang menopoli atau dominan menjadi CPNS, karena harus dinilai unsur etika moral nya (baik atau tidak).
Seperti bantuan sosial (Bansos), sekalipun hal itu telah disiapkan dalam APBN dan telah disetujui DPR, tetapi tidak etis bantuan sosial itu di bagikan di depan istana Presiden saat di tahun politik yang terkesan politisasi bansos.
Sebuah perbuatan bila dilandasai niat yang tidak baik, maka akan menghasilkan dosa (Alquran & Hadist).
Keresahan dan Kegalauan Publik Akibat Perilaku Tidak Etis Pejabat Publik dan Pejabat Politik
Gaya kepemimpinan yang dipertontonkan Presiden Joko Widodo menuai kritikan dari berbagai stakeholder bangsa ini. Mulai dari penjual rujak hingga kalangan akademisi dan guru besar.
Hal ini mengingatkan rakyat Indonesia pada tahun 1997-1998, terjadi kecurangan Pemilu yang memenangkan Partai Golkar menguasai kursi senayan dan menghantar Soeharto kembali menjadi Presiden untuk periode ke 7 (tujuh).
Keresahan dan kegalauan publik dengan melihat sikap dan perilaku pejabat politik dan pejabat publik saat itu yang telah menyimpang jauh dari Pancasila dan UUD 1945.
Dari pengamatan para ahli, para pakar, dan para guru besar (UGM dan UII, 2024) bahwa Presiden telah melanggar kaidah-kaidah KEBAIKAN (Etika).
Presiden Jokowi telah melakukan prinsip-prinsip kebenaran, tetapi melabrak norma-norma kebaikan. Manakah yang lebih utama, logika atau etika?
Rujukan utama kita tentunya pada Pancasila, sebagai landasan etis kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bila bangsa ini hanya mengandalkan kecerdasan intelektual (IQ), maka bangsa ini hanya mengutamakan akal sehat dan rasionalitas yang merupakan domainnya kebenaran, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para menteri, gubernur, bupati/walikota hingga kepala desa yang mengimplementasikan apa kata Presiden.
Kebenaran (IQ) harus berjalan sejajar dengan kebaikan (EQ dan SQ), tidak bisa berat sebelah, sehingga kata Haq (benar) dan Makruf (Baik) dalam Alquran jumlahnya sama dalam alquran (Inu Kencana, 2004).
Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila telah mewanti-wanti seluruh elemen Bangsa ini untuk menjalankan sila-sila berikutnya yaitu sila ke-dua hingga sila ke-lima.
Sehingga penjabaran dan implementasi Kemanusiaan yang adil dan beradab rujukannya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, demikian pun Pelaksanaan Sila Persatuan Indonesia rujukannya adalah Sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai ilustrasi sederhana, mempersatukan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bila hanya didasarkan kepada keragaman budaya, keragaman bahasa, kearifan lokal dan seterusnya, maka kegagalan mempersatukan itu akan sangat besar dan sangat kuat.
Karena masing-masing daerah akan mempertahankan kelebihan dan keunikan budayanya masing-masing, maka yang dapat mempersatukan semua keragaman itu adalah sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Pejabat publik dan pejabat politik harus menyelaraskan Kebenaran (Hak) dan Kebaikan (Makruf).
Presiden Jokowi masih mempunyai waktu yang cukup untuk bertindak diatas kebenaran dan kebaikan berdasarkan Pancasila.
Semua kritikan dan sorotan terhadap pejabat politik dan pejabat publik akhir-akhir ini diperuntukkan untuk menyeimbangkan penegakkan keadilan sosial, yaitu keseimbangan antara kebenaraan dan kebaikan sosial. *
Penulis adalah Arsiparis Ahli Utama Ditjen Bina Pemdes Kemendagri RI
Discussion about this post