Oleh: Farhat Abbas
SUDAH muncul sederet nama. Itulah calon pemimpin utama untuk negeri ini: Presiden RI kedelapan. Di antara mereka – setidaknya yang senter terpublikasi di jagad media massa – tercatat nama-nama dari unsur partai politik, profesional dan kalangan tentara-kepolisian, dari jender lelaki dan prempuan.
Beberapa nama yang menghiasi media massa – di antaranya – Prabowo Subiyanto, Anies Baswedan, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, Ganjar Pranowo, Ridwan Kamil , Sandiaga Uno, Jenderal Andika Prakasa, Basuki Cahaya Pernama (Ahok), bahkan Gibran Rakabuming, Puan Maharani dan Airin Rachmi Dainy. Dan terpublikasi juga nama Farhat Abbas dan sejumlah tokoh lainnya yang kian bermunculan ke hadapan publik. Dapat dikatakan, banyak stok kandidat pemimpin utama untuk negeri ini.
Pendek kata, bermunculan nama yang – sejauh ini – sudah bereputasi nasional. Yang perlu kita catat lehih jauh, potret pemimpin utama seperti apa yang kita tunggu?
Tentu, target pemilihan pemimpin utama bukan sekedar terwujudnya sang presiden baru. Tapi, Presiden kedelapan ini haruslah memenuhi kehendak bangsa. Agar negara jauh lebih maju dan rakyatnya merasakan kemajuan dan keadilan. Kehadiran sang pemimpin utama haruslah mampu mengantarkan negara menjadi mandiri dan berdaulat. Hal ini berarti bukan sekedar masalah kontestasi politik (pemilihan presiden), tapi presiden seperti apa yang mampu mewujudkan cita-cita besar untuk negeri dan bangsa ini.
Tentu tidaklah mudah untuk mewujudkan negara yang berkemajuan pesat dan berkesejahteraan dalam level makmur. Juga, bukan pekerjaan ringan untuk wujudkan jatidiri negara yang berkemandirian dan berdaulat utuh. Kita tahu, untuk mencapai negara berkemajuan pesat ada konsekuensi logis. Yaitu, kesiapan dan kesigapan mengikuti perkembangan teknologi informasi dan lainnya yang berpengaruh kuat terhadap tuntutan obyektif masyarakat, dalam kaitan tingkat kesejahteraan dan atau kemakmuran. Juga, sangat terkait dengan tuntutan sistem pertahanan dan dinamika pengembangan ekonomi. Tuntutan ini – pada akhirnya – berkorelasi langsung pada model kerjasama ekonomi, yang dampaknya juga menjadi sesuatu yang harus diperhatikan secara sosial dan budaya.
Tuntutan tersebut mendorong negara harus mampu menyesuaikan karya peradaban teknologi canggih. Bukan sekedar memfasilitasi prosesnya dan politik anggarannya, tapi juga harus pula mendorong kapasitas warga negara untuk menyesuaikan tuntutan kemajuan teknologi itu. Ini berarti, harus ada dorongan kebijakan poduktif untuk merancang-bangun keberadaan sumber daya manusia (SDM). Sang pemimpin utama harus mampu menciptakan SDM Indonesia yang berkapasitas unggul secara kompetensi. Tapi, kebijakan pemolesan kompetensi juga harus dibarengi pembentukan karakter. Karakter mulia akan menjadi faktor penguat bagi output kompetensi. Agar tidak terjadi kontraproduktif.
Karenanya, sistem pembangunan SDM harus pula mendasarkan pertimbangan efektivitas. Program pembangunan otak dan hati harulah seimbang. Dalam hal ini dimensi keagamaan menjadi penting. Sebagai pemandu dalam merancang-bangun dua domain utama: otak dan hati itu. Sistem kerja otak-hati akan mampu menciptakan gerakan kesimbangan antara kemauan keras dalam mewujudkan cita-cita dan sistem kontrol untuk mengendalikan gerakan yang dinilai kurang proporsional bagi dimensi lain. Inilah urgensi dan makna strategis pembentukan kualitas karakter mulia di samping pembangunan kompetensi intelegensia manusia.
Sekali lagi, sang pemimpin utama diharapkan mampu menghadirkan negara yang mandiri. Jika mengacu potensi negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) dan SDM yang tersedia, sebenarnya aset SDA dan SDM memiliki peluang besar untuk menciptakan kemandirian. Kemandirian perlu kita baca bukanlah tak perlu kerjasama dengan elemen manapun atas nama nagara atau korporasi dari dalam dan luar negeri. Tapi, kemandirian harus diterjemahkan sebagai kemampuan melepaskan diri dari ketergantungan.
Sejauh ini, fakta bicara bahwa Indonesia – dalam sektor ekonomi – masih menunjukkan ketergantungan kepada pihak lain, baik Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), donor dari sejumlah negara yang bersifat bilateral. Akibat krisis yang melanda atau faktor lainnya, fakta bicara: ketergatungan itu masih demikian eksis. Inilah yang membuat cita-cita kemandirian Indonesia belum bisa terwujud secara nyata.
Jika kita mereview platform politik lembaga donor internasional seperti Bank Dunia ataupun IMF, memang keduanya – sejak berdirinya hingga kini – selalu mendesain sistem ketergantungan negara phery-phery (pinggiran) alias negara-negara terbelakang secara ekonomi. Mamang ada sisi mulia. Sejumlah negara under developed bahkan developing countries perlu bantuan atau suntikan dana. Rasanya sulit bangkit dari keterpurukan jika tak mendapatkan suntikan finansial. Komitmen lembaga-lembaga dan atau negara donor – di permukaan – cukup mulia, yakni ikut menciptakan upaya memajukan suatu negara. Tapi, sistem kerjasama yang dibangun tidak memberikan nafas untuk bangkit sehat. Inilah tantangan pemimpin utama Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari jebakan (trap) maut sejumlah donor yang sudah berlangsung puluhan tahun itu.
Meski demikian, tantangan besar (ketergantungan) bukan berarti tak bisa dilepaskan. Jika sang pemimpin utama menunjukkan sikap patriotik sebagai bangsa dan negara yang berdaulat penuh, maka idealisme ini menjadi kekuatan untuk menciptakan posisi tawar. Dengan memiliki SDA yang demikian melimpah, populasi penduduk di atas 270 juta jiwa dan geopolitik yang sangat strategis, keunggulan ini bisa dijadikan bargaining position RI. Bukan lagi di bawah, tapi sejajar bahkan di atas. Inilah sikap patriotik sang pemimpin utama, sehingga negeri kita bukan hanya berdaulat, tapi akan disegani oleh bangsa dan atau negara lain di muka bumi ini.
Discussion about this post