Saya sudah menyiapkan jawaban sebagai bantahan balik terhadap somasi rekan sejawat pengacara tersebut. Tapi tiba-tiba Om Tony datang membatalkan perjanjian kuasa. “Kalau Om Tony merasa keberatan membayar jasa advokasi, saya bisa kasih layanan bantuan hukum secara pro bono. Om Tony tidak perlu membayar jasa profesi saya, cukup tanda tangani surat pernyataan sebagai dasar laporan saya ke kantor pusat organisasi advokat saya di Jakarta,” begitu saya meyakinkan pada Om Tony agar dia tetap bisa mendapatkan haknya untuk dilindungi secara hukum.
Tapi rupanya bukan karena alasan pembayaran jasa profesi yang membuat Om Tony mengurungkan itikadnya untuk didampingi advokat. Ternyata, kata Om Tony, istrinya yang sudah sangat ketakutan kalau harus berhadapan melawan Dirut PDAM. “Kami ini orang kecil pak, apalagi Ko Dino itu iparnya Pak Bupati Amirudin, jadi itu yang ditakutkan istri saya”, kata Om Tony yang menyebut nama Dirut PDAM Banggai, Bachrudin Amir, S.H, itu dengan sebutan Ko Dino. Saya masih mencoba memberi pemahaman kepada istri Om Tony agar kasusnya bisa diselesikan secara adil. Tapi dia sudah berkeras hati untuk menyelesaikannya sendiri tanpa didampingi lagi oleh pengacara.
Dengan berat hati, akhirnya saya melepaskan Om Tony dan istrinya berurusan sendirian. Seteleh seminggu kemudian, lewat telepon Om Tony memberi kabar. Katanya, setelah terjadi tawar-menawar yang cukup alot, akhirnya kasus tersebut diselesaikan secara kekeluargaan, dimana Om Tony diharuskan tetap membayar kepada PDAM sebesar Rp. 35 (tiga puluh lima) juta. “Ya, daripada saya dengan istri bertengkar terus, terpaksa kami cari pinjaman uang untuk menutupi tagihan tersebut”, kata Om Tony, sembari memastikan tagihan PDAM itu sudah ia lunasi.
Ibarat Tai Sapi dan Kue Bluder
Karut marut pengelolaan majemen PDAM Kabupaten Banggai selama ini tidak terlepas dari buruknya sistem rekrutmen direksi yang diwarnai adanya indikasi kolusi dan nepotisme. Sebagaimana yang diketahui publik, Bupati Amirudin terhitung sejak tangggal 2 September 2021 telah mengangkat dan melantik iparnya sendiri, Bachrudin Amir, S.H sebagai Direktur Utama PDAM periode 2021 – 2026 dengan SK No. 500/780/Bag.Ekon tgl. 2 September 2021. Pengangkatan 4 (empat) orang anggota direksi PDAM Banggai tersebut adalah merupakan tindaklanjut dari hasil seleksi yang dilakukan oleh Tim Pansel yang dipimpin oleh Sekkab Banggai, Ir. Abdullah, M.Si.
Nah dihubungkan dengan visi-misi pemerintahan Bupati Amirudin, khususnya visi-misi yang dicanangkan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan Kabupaten Banggai yang bersih, transparan, dan akuntabel. Maka dalam konteks ini pelulusan seleksi serta pengangkatan Bachrudin Amir, S.H sebagai Dirut PDAM tentu saja menjadi kontradiksi dan paradoks, dimana antara visi-misi dan tindakan yang dilakukan oleh Bupati Amirudin tersebut, ibarat lagu nostalgia yang bagian liriknya berbunyi, “lain dibibir dan lain dihati”, alias terjadi inkonsistensi antara kata dan perbuatan.
Kok bisa? Ya, faktanya itulah yang terjadi. Kendatipun Bachrudin Amir, S.H tidak memenuhi syarat untuk diluluskan dalam seleksi dan/atau diangkat menjadi anggota direksi/Dirut PDAM sesuai ketentuan Perda Kabupaten Banggai No. 1 tahun 2021 tentang Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumdam), khususnya Pasal 26 huruf i dan k yang mengatur tentang syarat umur minimal 35 tahun dan maksimal 55 tahun, serta tidak terikat hubungan keluarga, termasuk ipar dengan Bupati dan Wakil Bupati Banggai.
Namun ternyata, meskipun Bachrudin Amir, S.H tidak memenuhi syarat, karena telah berusia 66 tahun saat mengikuti seleksi calon direksi PDAM dan berstatus sebagai ipar Bupati Amirudin, tapi begitulah yang terjadi, aturan tinggal aturan, visi-misi anggap saja cuma pelengkap persyaratan di KPU. Mumpung lagi berkuasa, “kiapa ngoni mo sewot, kalu kita mo bekeng?”, kata Om Tole. Hehe.., sedap bukan?
Nah, tindakan Bupati Amirudin mengangkat iparnya sendiri sebagai Dirut PDAM tersebut adalah merupakan indikasi kolusi dan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam ketentuan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 jo Pasal 21 dan Pasal 22 dengan ancaman hukuman penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 12 tahun, serta denda minimal Rp. 200 juta, dan maksimal Rp. 1 (satu) miliar.
Kasus dugaan kolusi dan nepotisme serta pelanggaran Perda tersebut pernah saya (Penulis) ajukan permintaan untuk dilakukan pengawasan oleh DPRD Kabupaten Banggai. Namun dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi tiga ketika itu (September 2021), melalui voting (pemungutan suara) diputuskan agar kasus tersebut dipersilakan untuk diselesaikan diranah hukum/pengadilan.
Tentu saja saya kecewa dengan keputusan dewan yang bersifat menghindar dan mencari titik damai, dengan melemparkan tanggung jawab fungsi pengawasannya tersebut kepada pihak lain. Namun demikian saya pun terpaksa mengalah dan harus memakluminya. Oleh karena pengambilan keputusan melalui voting di dewan, terkadang sikap rasional menjadi hilang, sehingga dalam keadaan tertentu, (maaf) tai sapi pun bisa saja disepakati menjadi kue bluder.* (bersambung)
Penulis adalah advokat dan Ketua DPC PPKHI Kab. Banggai
Discussion about this post