Mencermati perilaku Ust. Ahmad Farid Okbah yang diciduk itu, kita sama-sama mendapatkan data – setidaknya dari rekaman (video) yang tersiar di arena publik – bahwa beliau terpaksa harus menyampaikan tausiahnya secara terbuka kepada penyelenggara negara yang dinilai sudah jauh dari al-Qur`an, termasuk nilai-nilai Pancasila dan konstitusi. Haruskah disalahkan secara hukum? Meski terlontar kata “jihad”, apakah diksi yang disampaikan mengarah bahkan menimbulkan realitas mobilisasi massa yang mengancam negara? Apakah beliau memiliki perangkat produk persenjataan semacam bom atau aparat keamanan sehingga memang bisa mengancam keberadaan negara dan rakyatnya? Adakah seorang Ahmad Farid Okbah – secara terencana dan rutin – membangun komunike terkait kudeta? Jika ingin berkudeta, apakah dirinya memiliki perangkat militer sebagai kekuatan strategis yang berpotensi berhasilnya sebuah kudeta? Jawabannya clear: tak ada indicator yang mengarah pada penggoyangan terhadap kekuasaan. Jika opininya tetap diarahkan ke penggoyangan kekuasaan, itu hanyalah ilusi. Fatamorgana.
Fakta sosial-politik menunjukkan jelas, diksi “jihad” yang dipakainya lebih mengarah pada membangun kesadaran umat atau bangsa ini untuk menolak praktik-praktik atau cara kekuasaan yang tak lagi sejalan dengan spirtualitas nilai-nilai Pancasila, apalagi ketentuan agama. Sebuah renungan, apakah sikap keberagamaan seperti itu harus digiring ke ketentuan pidana terorisme? Tertalu naif.
Kenaifan itu mengundang spekulasi adanya politisasi terhadap kalangan beragama, atau kalangan manapun yang committed to penegakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Ketika kita berhasil mendeteksi arah destruktif itu, maka kita dapat menyatakan bahwa kalangan atheis memang itulah aktor sejati di balik manuver politisasi dan kriminalisasi ulama atau siapapun yang getol memperjuangkan dan menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Yang perlu kita catat lebih jauh – dalam perspektif Pancasila – manuver tersebut harus kita catat sebagai penodaan terhadap Sila pertama dan Sila kedua dan Sila ketiga. Sila pertama memiliki spirit bangsa ini untuk keberagamaan, apapun keyakinannya. Salah satu refleksi penting dari Sila pertama adalah kebertuhanannya yang committed to terwujudnya kebenaran, tergaknya keadilan dan sejumlah nilai kebaikan. Untuk misi besar kemanusiaan. Hal ini merupakan ruh penting bahkan menjadi barometer umat dalam beragama, sehingga ketika mengktitik kekuasaan memang tak lepas dari spiritualitas Sila pertama Pancasila itu. Kritik yang dilontarkan untuk saling mengingatkan. Agar bersama-sama selamat. Ada dimensi kasih sayang. Itulah spiritualitas keberagamaan atau kebertuhanan yang luput dimaknai oleh para provokator pembenci ulama dan pengibar nilai-nilai kebenaran, keadilan dan nailai-nilai kebaikan lainnya
Berangkat dari Pancasila itu pula, politisasi dan kriminalisasi terhadap ulama – secara langsung atau tidak – terlihat ada skenario jahat untuk mendeskreditkan dan membenturkan kaum ulama. Arah pendeskreditan itu jelas: mengadu-domba antarumat beragama, bahkan dengan kelompok lain. Seperti kita ketahui bersama, ulama punya jamaah dan tidak kecil secara kuantitatif. Ketika ulama dikriminalisasi, berarti menggiring jamaahnya untuk bersikap (membela). Di sanalah desain konflik terbuka, bisa hanya elitis, bahkan secara horisontal.
Skenario tersebut – jika kita mereview Sila ketiga Pancasila – maka, tidaklah berlebihan jika muncul opini publik bahwa Sila ketiga ini sedang diobrak-abrik spiritnya. Cita-cita besar dari Sila ketiga – yakni terwujudnya persatuan di tanah air ini – secara terencana dan sistimatis sedang diporak-pandakan. Skenario konfliktual itulah indikator utama pemecahan anak bangsa ini.
Jika kita menengok era jelang 1965-an, sejarah mencatat: hanya kalangan komunis di tanah air ini yang demikian gencar mengadu-domba rakyat dengan cara – salah satunya – menyakiti ulama secara fisik, bahkan membunuhnya secara kejam. Merenung tragedi sejarah kelam masa 1965-an itu, maka tidaklah berlebihan jika publik ini beropini bahwa politisasi dan kriminalisasi ulama saat ini memang sedang dimainkan kalangan komunis, meski – secara eksplisit – tidak dalam naungan partai politik. Karenanya tidaklah berlebihan juga ketika kita menilai ada permainan stigma terorisme kepada kaum ulama, terutama yang bersikap tegas dan tak mau berkompromi terhadap pencampuradukan nilai-nilai agama dan Pancasila ke dalam praktik kekuasaan yang kotor.
Skenario jahat itu pula yang mendorong sebagian elemen –termasuk dari barisan muslim – yang demikian bergelora untuk membubarkan MUI. Bagi kalangan yang telah terbius atau terjebak permainan komunis, MUI dinilai sebagai kekuatan strategis umat, setidaknya dari sisi moral. Dan kekuatan ini dinilai sebagai penghalang langkah politik praktis dan utopisnya. Apapun judul atau reasonnya, kelembagaan MUI dinilai sebagai perintang. Cara pandang inilah yang mendorong sebagian elemen bangsa ini memusnahkan entitas kelembagaan yang bernama MUI. Sekali lagi, jika kita memahami Sila pertama Pancasila, sgerakan itu ungguh menodainya.
Akhirnya, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bahwa Pancasila memang telah final. Dari sisi perumusan. Dan dari sisi politik, bukan sisi ideologis. Itulah sebabnya, diperlukan program besar pembumian Pancasila untuk semua elemen bangsa ini, bukan sekedar slogan. Agar bangsa ini terjauh dari praktik menipulasi yang terus mencederai Pancasila bahkan konstitusi. Pembumiannya diharapkan mampu mencegah skenario jahat yang membenturkan kerukunan umat beragama, tercegah praktik hukum yang sejatinya unlawful. Juga, agar komitmen kebersatuan di tanah air ini tidak dirusak oleh kekuatan ideologis tertentu yang bertentangan dengan dasar negara kita. Di sinilah urgensinya menatap spritualitas Pancasila. *
Baca juga: Ironi Kalimantan Terlanda Banjir
Jakarta, 29 November 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post