Oleh: Muhadam Labolo
FENOMENA pawang hujan dalam perhelatan MotoGP Mandalika beberapa waktu lalu menimbulkan beragam tanggapan dari dalam maupun luar negeri. _It worked,_ puji salah satu media asing. Respon sensitif berasal dari kelompok yang menganggap praktek tersebut semacam sinkretisme yang mengancam fundamental religi, apalagi diperagakan di Pulau Seribu Masjid.
Pergeseran peran mitos, filsafat, religi dan sains tak pernah pudar hingga dewasa ini. Ada era keemasan atas eksistensi masing-masing. Mitos kaya akan cakrawala keunikan alam hingga melahirkan seperangkat kepercayaan, perilaku dan artefak bagi komunitas tertentu. Produknya kebudayaan yang didalamnya mengandung pula kearifan lokal _(local wisdom)._
Kearifan lokal menyajikan cara pandang kelompok masyarakat terkait satu isu berdasarkan nilai luhur yang dihayati. Bentuknya bisa _tangibel_ dan _intangible._ Kearifan lokal dikenali lewat pengetahuan, nilai, keterampilan, sumber daya, dan pengambilan keputusan lokal (Ife, 2002). Sementara kebudayaan lokal adalah produk dari kebiasaan yang telah berlangsung lama dan diwariskan turun-temurun di suatu kelompok masyarakat.
Mitos kehilangan popularitas ketika _logos_ mampu menerangkan gejala alam melalui nalar yang sistematik. Inilah akal sehat yang digaungkan kaum rasional. Produknya filsafat hingga membuahkan sains. Yang pertama memberi ruang dialektika sebagai alasan, sementara yang terakhir mencipta instrumen praksis guna mempermudah impian manusia mencapai segalanya.
Dalam masa berikutnya religi tampil mengendalikan nafsu dan loncatan mitos, filsafat dan sains. Mitos di elak sebab melebihkan keyakinan yang hanya satu dan tertinggi selain Tuhan. Filsafat mengagungkan akal sebagai satu-satunya pemandu paling kredibel. Terkadang Tuhan pun tak luput dari nalar kritis. Sementara sains hampir menjadi Tuhan di tengah keangkuhannya menjawab kesulitan manusia lewat _artificial intelligence._
Religi bukan pula tanpa masalah. Ia terkadang terjebak ritus sebagaimana penyakit mitos itu sendiri. Dalam kehampaan relevansi itulah religi tak jarang dinilai kurang berpengaruh bagi kehidupan manusia. Survei Denny JA (2021) menunjukkan bahwa 10 top rangking dari 179 negara terbaik dari aspek penurunan korupsi, indeks kebahagiaan dan kualitas sumber daya manusia menganggap religi tak begitu penting bagi kehidupan mereka.
Kecuali Singapura (70%), New Zealand hanya 33% percaya agama berpengaruh. Denmark 19%, Finlandia 28%, Switzerland 41%, Swedia 15%, Norwegia 22%, Netherland 33%, Luxemburgh 39%, dan Jerman 40%. Kesepuluh negara terbaik dari tiga aspek tersebut mayoritas percaya bahwa religi tak banyak berpengaruh bagi kehidupan manusia. Artinya, kehidupan bernegara lebih efektif di atur dengan konsensus akal sehat.
Sementara negara seperti India (mayoritas Hindu) 90% percaya bahwa religi penting bagi kehidupan manusia. Philipina (mayoritas Katolik) 96% percaya religi berpengaruh. Thailand (Budha), 96% percaya religi diperlukan. Arab Saudi (Islam) 93% percaya religi berperan signifikan. Demikian pula Indonesia (mayoritas Muslim), 97% yakin religi penting bagi kehidupan.
Kenyataan riset itu jelas mencengangkan. Negara-negara yang mayoritas penduduknya percaya bahwa religi berperan penting bagi kehidupan manusia memperlihatkan fakta sebaliknya. Angka korupsi, indeks kebahagiaan dan kualitas sumber daya manusianya hanya berada di papan tengah kebawah diantara negara yang disurvei. Maknanya, religi di negara-negara tersebut _it’s not worked_ dalam realitas kehidupan.
Kemungkinan pelambatan religi dan sains dalam berbagai aspek termasuk menangkal hujan secara konkrit mendorong eksistensi mitos mengambil peran heroik dilintasan sirkuit Mandalika. Emosi kaum religi dan saintis seakan ditantang. Ditantang berpikir kembali soal bagaimana menghalau hujan lewat spiritualitas & teknologi. Bila hujan tak kunjung reda, mungkin saja kedua komponen itu sedang diam. Atau mungkin cara kerjanya berbeda dengan mitos yang walau terkesan mistis dan purba namun lekas hasilnya.
Dalam kepanikan semacam itu, negara tak punya banyak pilihan. Baginya, sejauh religi mampu melempar tongkat seperti Musa, atau semampu Isa membagi sekerat roti untuk mereka yang kelaparan, negara patut mengapresiasi, berapapun harganya. Syaratnya, cukup mengontrol hujan agar harga diri negara dihadapan Marquez dkk tak dicela gagal, disamping ongkosnya mahal.
Bagi negara simbiotik yang menghampiri sekuler, sejauh mitos, agama, filsafat dan sains dapat memberi kontribusi terbaiknya, tentu bukan masalah. Yang masalah jika elemen itu mendekonstruksi konsensus bernegara. Negara melindungi & memfasilitasi semua, sebab Ia tak dibangun di atas kepentingan sempit, sekalipun tak dapat disangkal pula bahwa negara dilahirkan di atas spirit mitos, filsafat, agama dan sains. Faktanya IKN merefleksikan itu, dipenuhi ritual tanah dan air dari 34 provinsi.
Dalam posisi itu negara bersikap adil membolehkan siapa saja masuk arena, termasuk Pawang Hujan. Keadilan negara tak bisa berdiri lewat rupa metafisis. Suatu keadilan yang berdasar pada Tuhan semata, atau hukum kodrati yang bersifat partikular. Negara, sebagaimana ide Rawls (1971) mesti bersandar pada keadilan politis. Suatu keadilan yang tak melulu berangkat dari kebenaran dogmatis, tapi lebih pada konsensus, kesesuaian, kecocokan, atau seberapa penting manfaatnya guna mencapai tujuan politik, kestabilan dan kedamaian. *
Discussion about this post