Oleh: Fitri Hadun
BANYAKNYA kasus nikah dini pada generasi kita, membuat kekhawatiran tersendiri bahkan diadakan kampanye untuk mencegah nikah dini. Berdasarkan data BPS selama satu dekade terakhir, angka perkawinan di bawah umur terus terjadi. Setiap tahun terjadi perkawinan usia anak di Indonesia sekitar 10,5 persen.
Berdasarkan data Unicef 2023, Indonesia menempati peringkat urutan ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar (Kompas.id. 08/03/2024).
Perkawinan anak di Sulawesi Tengah (Sulteng) juga sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS Tahun 2022, angka perkawinan anak atau pernikahan dini di Sulteng mencapai 12,65 persen, dan menduduki peringkat kelima secara nasional (Channelsulawesi.id. 06/11/2023).
Kampanye Mencegah Nikah Dini Oleh Pemerintah
Kemenag melakukan seminar cegah nikah dini di semarang (website resmi Kemenag). Direktur bina KUA dan keluarga sakinah Kemenag, Cecep Khairul Anwar mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen mencegah perkawinan anak melalui pendidikan.
Selain itu, Kemenag juga telah mengambil sejumlah langkah untuk mencegah perkawinan anak, salah satunya melalui pembinaan kepada siswa-siswi Madrasah. Cecep berharap upaya ini menjadi langkah strategis dalam membentuk generasi muda yang berkualitas (Website resmi Kemenag).
Menikah Dini Berbahaya?
Maraknya pernikahan dini dianggap sebagai penghambat terwujudnya generasi berkualitas. Apalagi pernikahan dini dituding identik dengan putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, terjadinya stunting, KDRT dan hal-hal yang dianggap negatif, sehingga dianggap perlu mengangkat remaja sebagai agen untuk mencegah perkawinan anak.
Kesimpulan ini merupakan kesimpulan yang serampangan dan membahayakan, apabila pemerintah menempatkan nikah dini sebagai masalah bahkan penghambat terwujudnya generasi yang berkualitas.
Perlu adanya data yang obyektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi tuduhan yang menyesatkan. Dan hal ini begitu ironis karena di sisi lain, justru remaja dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang pro seks bebas.
Film dan konten percintaan yang merangsang syahwat tersebar luas tanpa ada penanganan serius dari pemerintah. Pergaulan bebas seperti pacaran dibiarkan.
Menikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi. Seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, karena inilah permasalahan besar generasi muda hari ini yang menghambat terwujudnya generasi berkualitas, bukan malah menyibukkan diri mencegah pernikahan dini.
Ditambah seperti kita ketahui, sistem pendidikan negeri ini tidak membekali para generasi untuk memiliki ilmu yang dapat berguna ketika menjalankan segala perannya di kehidupan termasuk ilmu ketika generasi muda menikah.
Sistem pendidikan yang berbasis kapitalisme hari ini menjadikan tujuan pendidikan untuk mencari uang. Maka, setiap materi dan kegiatan pembelajaran demi bekal ketika di dunia kerja.
Walhasil, generasi muda tidak memiliki ilmu tentang bagaimana perannya di kehidupan dan ketika menikah, serta tidak mampu menyelesaikan segala pemasalahannya di kehidupan termasuk menyelesaikan segala permasalahan ketika di dunia pernikahan. Maka, wajar tingginya angka perceraian bahkan KDRT.
Pencegahan Pernikahan Anak adalah Amanat SDGs
Pencegahan Pernikahan dini sesungguhnya adalah amanat SDGs, yang merupakan program Barat, yang hendak diwujudkan juga di negeri-negeri muslim. Tentu saja program ini berpijak pada paradigma Barat yang Liberal, yang menghalalkan pergaulan bebas dan seks bebas sementara pernikahan dini dianggap sebagai masalah. Padahal jelas yang bermasalah bukan pada pernikahan dini, tapi seks bebas.
Diantara target yang akan dicapai dari SDGs adalah pengentasan stunting dan pencegahan Pernikahan anak, yang dijadikan proyek nasional dalam RPJMN 2020 – 2024. Angka perkawinan anak ditargetkan turun dari 11,2 persen di tahun 2018 menjadi 8,74 persen di tahun 2024.
Terget ini akan berdampak pada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga muslim, namun diiringi dengan tingginya angka seks bebas diluar pernikahan, ini jelas akan menghancurkan keluarga muslim. Beginilah bahaya cara pandang ala barat. Menikah dini lebih berbahaya dari seks bebas. Naudzubillah.
Sitema Islam Melahirkan Generasi Berkualitas
Sangat berbeda ketika kita menggunakan cara pandang Islam. Islam mengharamkan seks bebas karena menyebabkan kerusakan moral, ketidakjeladan nasab, menghantarkan pada berbagai penyakit dan bisa berujung aborsi.
Selain itu, Islam memiliki aturan rinci terkait pernikahan, yang merupakan salah satu bab dalam pembahasan hubungan laki-laki dan perempuan. Islam membolehkan seseorang menikah selagi sudah siap dan mampu agar dapat menundukkan pandangan dan tidak terjerumus kepada perbuatan keji seperti zina.
Jadi, tidak ada standar usia menikah di dalam Islam selagi sudah siap dan mampu menjalankan kewajibannya ketika menikah. Bahkan Rasulullah menikah dengan ummul mu’minin Aisyah pada saat Aisyah berusia 6 tahun.
Namun, belum tinggal bersama. Nanti ketika Aisyah berusia 9 tahun, barulah Rasulullah tinggal bersama Aisyah. Sehingga, remaja yang hari ini disebut nikah dini, sejatinya tidak tergolong nikah dini di dalam Islam.
Bersambung halaman sebelah
Discussion about this post