Teguh mencatat, keseriusan dan kesungguhan pemerintah adalah kata kunci dalam penanganan Covid-19. Selain upaya yang dilakukan pemerintah, peran serta masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan juga menjadi faktor lain yang menentukan.
Negara-negara di Asia Timur khususnya memiliki “keuntungan” tersendiri karena berpengalaman bersentuhan dengan virus corona.
Pengalaman ini membuat negara-negara di kawasan itu, apakah yang memiliki sistem politik tertutup seperti China dan Korea Utara, atau yang memiliki sistem politik terbuka seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, sejak beberapa waktu lalu telah mengembangkan pusat-pusat penelitian untuk mempelajari virus corona. Dengan demikian, ketika virus corona baru menghumbalang di akhir 2019, pemerintahan di negara-negara kawasan itu dapat melakukan upaya penanganan dengan cepat dan relatif tepat.
Lebih dari itu, pemerintah China, contohnya, juga beberapa langkah di depan dalam upaya menemukan vaksin anti Covid-19.
Di sisi lain, masyarakat di negara-negara itu pun sudah terbiasa dengan berbagai protokol kesehatan yang ketat. Membawa hand sanitizer dan mengenakan masker, misalnya, telah menjadi trend di kalangan generasi muda di China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, jauh sebelum SARS Cov-2 merebak.
Terkait dengan sistem politik secara umum, Teguh mengatakan, setiap negara secara “alamiah” akan mengembangkan sistem politik yang dirasa cocok dan sesuai dengannya. Bagaimanapun juga sistem politik adalah produk budaya yang tumbuh dan berkembang.
KEMUNDURAN DEMOKRASI DAN “MILITERISME”
Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Warjio, yang menjadi pembicara pertama dalam diskusi itu mencatat tiga isu besar yang muncul dalam praktik demokrasi di era Covid-19.
Ketiganya adalah persoalan HAM, kemunduran demokrasi, dan “militerisme” atau penggunaan simbol-simbol dan tindakan-tindakan militeristik yang untuk waktu yang lama diidentikkan dengan simbol dan tindakan institusi militer.
Warjio yang baru meluncurkan buku berjudul “Demokrasi di Era Covid-19” itu mengatakan, penggunaan kekuatan “darurat” menjadi setara dalam sistem demokrasi.
“Bukan hanya karena para pemimpin otoriter menuntutnya, tetapi karena warganegara yang takut mentolerirnya,” ujar Warjio.
Discussion about this post