Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
TIDAK ada pemimpin yang sempurna, semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Hebatnya Kepemimpinan Bung Karno berakhir dengan kekecewaan. Hebatnya kepemimpinan Soeharto berakhir tragis dan cukup memprihatinkan setelah berkuasa 32 tahun.
BJ Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY adalah fenomena kepemimpinan yang hampir sama di selimuti oleh fenomena anomali dan krisis kepemimpinan.
Kuhn (1964) menyebutkan Siklus paradigma: normal – anomali – krisis – revolusi dan paradigma baru.
Sejak 2014 memimpin Indonesia hingga 2019 periode pertama Presiden Jokowi – JK kondisi Indonesia dalam keadaan normal dengan segala hiruk pikuk nya.
Di periode kedua 2019-2024 pun dapat dikatakan normal sekalipun terjadi anomali bahkan krisis dengan pandemi covid-19 yang menghancurkan tatanan dan struktur ekonomi dan sosial bangsa ini.
Dunia pun mengakui kehebatan Indonesia dalam menangani covid-19, dan kita sedang menuju kepada paradigma baru kepemimpinan Indonesia dibawa Joko Widodo-Maruf Amin.
Tidak ada kata final dan harga mati atas semua kepemimpinan selama ini, mulai Bung Karno hingga Jokowi saat ini.
Memimpin Indonesia di era revolusi industri 4.0 menuju 5.0 tidak harus dengan gaya Bung Karno, Soeharto atau Habibie bahkan SBY. Karena era nya sudah banyak berubah.
Publik pun menyadari bahwa gaya kepemimpinan Jokowi saat ini adalah Paradigma baru kepemimpinan yang mengandalkan kecepatan bertindak, kreativitas dan inovasi tingkat tinggi untuk dapat menyesuaikan dengan kompetisi global yang sangat ketat.
Jokowi bukanlah malaikat, segudang kelebihan dan kekurangan nya yang harus diterima oleh rakyat Indonesia. Ia masih seorang Presiden yang sah hingga 2024.
Berikan kesempatan kepada Presiden Jokowi untuk berkreasi, berinovasi dan menggagas ide dan perubahan Indonesia yang lebih baik.
Siapapun yang akan menggantikan Jokowi pada 2024, apakah Anies Baswedan, Prabowo atau Ganjar Pranowo adalah pilihan terbaik rakyat menuju Paradigma baru Kepemimpinan.
Indonesia harus bersyukur, karena di kepemimpinan nasional selama ini, kita tetap bersatu dalam predikat NKRI, TNI kita masih tetap solid. Dari sabang sampai Merauke masih dapat di kontrol dan di kendalikan secara efektif dan sempurna.
Bayangkan di negara-negara Timur Tengah, hingga hari ini terus bergejolak dan terjadi perpecahan,
Padahal mereka dari satu bangsa dan suku yang sama. Luas biasa nya Indonesia, dari suku bangsa, agama, bahasa, budaya yang berbeda-beda tetap dalam negara bersatu.
Jangan selalu menganggap Presiden adalah malaikat yang dapat menghipnotis segala sesuatu menjadi baik dan benar.
Jika terlalu serius kita memaknai setiap ucapan Presiden, bangsa ini seperti kurang rekreasi.
Masih jauh lebih berbahaya perkataan Gus Dur untuk menjalin hubungan dengan Israel, dari pada ucapan Cawe-cawe Jokowi.
Benar kata Gus dur, Soekarno itu negarawan. Soeharto itu Hartawan. Habibie itu Ilmuwan dan Gus dur sendiri adalah Wisatawan.
Ungkapan Gus Dur ini tidak menjadi problem bangsa ini dan normal-normal saja. Ungkapan ini sebenarnya lebih sensitif dan menyinggung bangsa ini dibanding ungkapan cawe-cawe Jokowi.
Bangsa ini juga harus di kelola dengan seni, karena tanpa seni ada kegersangan yang terjadi.
Discussion about this post