Mencermati kerusakan ekosistem alam akibat krisis moralitas manusia cukup menggambarkan adanya spiritualitas dari Sila pertama Pancasila dan atau – minimal amanat konsitusi (Pasal 33 UUD 1945) tidak diimplementasikan secara konsekuen-konsisten. Minimalitas pengamalan atau menjadikan dasarnegara dan konstitusi sebagai asesoris politik dan demokrasi itu juga berkorelasi secara kontraktif pada persoalan hak-hak kemanusiaan yang adil. Harus kita catat, kejahatan sistimatis terhadap tatanan alam sarat dengan gambaran ketimpangan sosial-ekonomi.
Dalam hal ini data bicara lantang tentang faktual bagaimana investasi asing seperti Freeport dan atau perusahaan-perusahaan tambang lainnya sudah sekian lama tidak memberlakukan sistem bagi-hasil atau konsesi yang fair, tidakhanya terhadap negara, tapi juga terhadap masyarakat sekitar wilayah tambang. Pamandangan yang terlihat merata adalah panorama kemiskinan yang selalu eksis di sekitar lokasi tambang, padahal mereka harus menghadapi sejumlah resiko pencemaran akibat tailing yang terus-menerus terbuang ke lingkungan sekitarnya. Pencemarannya mengancam posisi kesehatannya.
Bicara ketimpangan sosial-ekonomi, kita – secara terbuka – harus dicatat bahwa panorama itu terjadi akibat krisis moralitas, minimal hilangnya nurani dari para pemangku jabatan dan para pihak yang bersekongkol dengan negara. Perlu kita sadari, menciptakan ketimpangan sosial-ekonomidan bahkan membiarkannya – dalam kaitan Sila kedua Pancasila – merupakan tindakan ketidakmanusiaan, bahkan bisa diterjemahkan lebih ektrim: biadab dan melanggar hak asasi.
Sementara itu, jika kita refleksikan lebih jauh kewilayah Sila pertama dasar negara Pancasila, maka kebijakan dan atau tindakan yang berujung pada panorama ketidakmanusiaan dan kebiadaban menggambarkan kejahatan, bukan hanya pada diri manusia, tapijuga kepada sang Pencipta. Kita tahu, ajaran ketuhanan – dari sistem keyakinan manapun – tidak ada yang membenarkan para pihak menggencet kepentingan umat manusia lain. Karena itu, krisis moralitas yang membuat hilangnya empat kemanusiaan dan ketidakmauan bertindak konstruktif secara regulatif atau pun politik untuk mengikis kemiskinan, sesungguhnya mencerminkan sikap dan tindak ketidaktaatannya terhadap Sila pertama Pancasila.
Kita perlu menengok kembali ajaran eksplisit terkait ketuhanan. Keyakinan dari agama apapun mengumandangkan spiritualitas untuk hidup saling menolong, dalam konteks sosial, ekonomi bahkan lainnya. Dalam Islam, Allah menyampaikan perintah tegas, “Saling menolonglah (kalian) dalam urusan kebaikan. Dan janganlah tolong-menolong untuk urusan ketidakbaikan” (Q.S.Al-Maidah: 2). Pesan utama dari ayat ini jelas: kita semua harus saling empati dalam bentuk menolong secara konkret ketika menyaksikan panorama kemiskinan. Lebih dari itu, pesan itu juga menegaskan larangan bagi kita untuk bersekongkol terhadap apapun untuk urusan ketidakbaikan termasuk eksploitase alam, pembiaran kemiskinan dan ketidakmanusiaan.
Jika kita lansir lebih jauh, di balik pesan mulia ajaran keagamaan yang kemudian dirumuskan pada Sila pertama Pancasila adalah spiritualitasnya yang sesungguhnya mengarah pada kepentingan keharmonisan, kerukunan dan bahkan persatuan antar sesama anak-bangsa. Arah ideal ini pun – secara paralel – termaktub pada Sila ketiga Pancasila. Yang menarik adalah arah spiritualitas yang awalnya lebih ke dimensisosial, namun – tak bisa kita pungkiri– implikasinya berkembang ke zona lain, terutama politik dan ekonomi.
Panorama keharmonisan, kerukunan dan persatuan merupakan elemen strategis untuk mengantarkan posisi bangsa dan negara yang kuat dan maju. Ia akan mampu tegak berdiri di hadapan kekuatan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Modalitas sosial-politik-ekonomi dan budaya karena mengimplemantasikan spiritualitas Pancasila dan UUD 1945 sesungguhnya merupakan kekuatan dahsyat bangsa dan negeri ini. Sangat disayangkan, modalitas itu kini tergerus oleh krisis moralitas dari berbagai elemen, dari anasir pemangku jabatan, pemegang otoritas lapangan, masyarakat biasa. Semua itu akibat pragmatisme yang sudah demikian melanda kita semua tanpa menyadari dampak destruktifnya. Inilah krisis multi dimensional yang kita hadapi saat ini.
Dari awal, para pendiri negara – dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945 – sudah merancang konstruksinya secara ideal. Pijakan awalnya adalah kepentingan umat manusia sebagai bangsa yang harus dihormati dan saling menghormati, saling menolong, berkepentingan untuk wujudkan keharmonisan untuk misi persatuan. Dan misi ini akan mudah terbentuk karena upaya maksimal menegakkan keadilan, secara hukum, ekonomi, politik bahkan tatanan budaya.
Semua itu untuk kepentingan kemanusiaan yang harus beradab, tidak lagi iperlakukan secara biadab sebagai refleksi ke merdekaan sejati suatu bangsa yang bersepakat mendirikan negara. Itulah keberadaban yang sejatinya merupakan potret kemanusiaan sesuai fitrah. Jika keberadaban itu terefleksi lebih jauh ke alam lingkungan sekitar, maka negeri ini akan sepi dari amuk alam yang kerapkali terjadi, baik dalam rentang waktu sering atau jarang. Satu hal yang harus kita garis-bawahi, alam mengamuk sebagai reaksi alamiah atas tangan-tangan jahat dan tindakan kotor kita terhadap makhluk Allah tempat kita berpijak.
Idealitas Pancasila dan konstitusi itu – harus jujur kita sampaikan – sudah tererosi jauh. Pancasila hanya menjadi konsensus politik di atas kertas, baru diterima secara politik, belum sampai secara ideologis. Hingga deti kini – jika kita jujur sampaikan – Pancasila belum manjadi panduan ideologis yang harusnya diimpelementasikan secara konsisten dan konsekuen oleh semua elemen dan idealnya dari para pihak selaku pemang kekuasaan.
Sebagai umat manusia yang sadar berbangsa dan bernegara, maka tak ada opsi lain kecuali harus terpanggil bagaimana menghadirkan kembali spirit dan nilai-nilai Pancasila dan UUD1945 yang ideal itu dalam tataran sikap, cara pandang dan aksinyata (implementasi). Inilah ramuan mujarab, bukan hanya keluar dari jebakan masalah yang sudah memultidimensi, tapi berpotensi untuk menjadikan bangsa dan negeri ini besar. Tidak tertutup kemungkinan, Indonesia akan tampil sebagai negara raksasa yang disegani, minimal dari sisi politik dan ekonomi.
Idealitas itu – sebagai bangsa dan negara raksasa dan disegani – harus kita catat masih terlalu jauh. Proses perjalanan pembumian Pancasila kini kian terdegradasi dan cenderung akan menyirnakan dasar negara ini. Karena itu, dengan pahit kita perlu mempertanyakan dengan jujur, SUDAHKAH kita berPANCASILA? Jawabannya still on process. Yang memprihatinkan, posisi prosesnya justru makin menyungkur. Dengan posisi seperti ini, maka kita pun dapat mempertanyakan lebih jauh: sudahkah kita MENJADI bangsa Indonesia? Jika refeferensinya berpancasila secara konsekuensi, konsisten, implementatif, maka jawabannya jelas: BELUM. So, who we are? Jawabannya bukan politis, tapiperlu sikap dan tindakan ideologis, bukan verbal atau claim. Jawaban idelogis bagi semua komponen, terlebih penyelenggara negara, dari level tertinggi hingga terbawah: sebagai keteladanan kepada rakyat. *
Penulis adalah: Ketua Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post