Advertisement
Kolom Muhadam

Persekolahan Milyarder

257
×

Persekolahan Milyarder

Sebarkan artikel ini

Bersekolah di pemerintahan tentu menyentuh kedua tujuan di atas. Mengubah diri menjadi pelayan sama maknanya menurunkan ego serendah mungkin dihadapan majikan (rakyat). Dalam kesadaran itu setinggi-tingginya gaji dan tunjangan seorang pegawai negeri, Ia tetap hamba. Bahasa asalnya di sebut minis (kurang) yang kemudian bermetamorfosis menjadi ministrare, minister dan administrasi. Jadi, entah anda Bendahara, Kapolsek, Danramil maupun Lurah, tetap saja berstatus jongos.

Prospek mengubah lingkungan berdampak luas. Seorang dokter mungkin hanya mampu menyelamatkan satu-dua pasien, namun sosok pemerintah mampu menyelamatkan orang banyak. Di tangan mereka uang dapat dicairkan, gangguan dapat di cegah, ancaman dapat dihalangi, serta nasib orang banyak dapat di ubah. Setiap kebijakan dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif bergantung pemerintahnya.  Sebab itulah pemerintahan berhubungan dengan soal hidup & mati (Ndraha, 2002).

Mungkin, dalam persentuhan dengan lingkungan itulah para pelayan berpotensi menjadi kaya. Semakin banyak kepentingan yang mesti di atur, semakin tinggi pula desakan diprioritaskan. Realitas itu tak hanya menggoda para pelayan tuna etik, juga hasrat para majikan tuna moral. Disitu demand & supply tercipta lewat prinsip ada barang ada harga. Semua bisa diatasi lewat konsensus tak tertulis. Dasarnya suka sama suka sejauh tak ada yang dirugikan.

Sejatinya, persekolahan tak berkorelasi langsung dengan kekayaan. Tak sedikit orang tamat sarjana malah jadi pengangguran dan miskin. Banyak orang kaya lahir dari persekolahan yang rendah. Anehnya sepuluh orang terkaya di Indonesia hanya mengenyam sekolah dasar hingga sarjana di luar empat sekolah kedinasan yang di klaim melahirkan milyarder. Tujuh orang terkaya menurut Forbes Real Time Billionare (2020) berasal dari Undip, UI, ITB dan perguruan tinggi yang tak punya nama beken.

Bila kita renungkan, orang menjadi kaya bukan semata karena persekolahan, namun kemampuan mereka mengubah cara pandang. Betul bahwa cara pandang dapat di ubah lewat persekolahan, namun itu bukan satu-satunya. Mencontoh pendidikan di luar kelas lewat pengalaman (psiko), ketekunan dan disiplin yang tinggi (afeksi) dapat mengubah seseorang jadi milyarder. Lihat saja para pekerja yang bangun lebih pagi dan pulang lebih telat, mereka sukses dan menikmati hasil luar biasa.

Baca:  Menanti Negarawan

Dalam konteks inilah kita butuh terobosan lewat kebijakan pendidikan. Mungkin ada benarnya bila ingin kaya kita perlu belajar disiplin dari para pengusaha sukses. Bila sekolah berani mengadaptasi disiplin para pekerja, mungkin saatnya mencontoh kebijakan sekolah early morning seperti di  Provinsi NTT yang masuk pukul 5 pagi. Jika ini dinilai sebagai bagian dari proses pendidikan, mungkin saja dalam 15 tahun kedepan banyak orang bersekolah benar-benar menjadi milyarder, bukan sebab irisan pendidikan. *