IKLAN

Opini

Polisi, Demokrasi dan Kemanusiaan

335
×

Polisi, Demokrasi dan Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini

Untuk menghadapi dinamika itu semua, satuan kepolisian sesungguhnya sudah dibekali perangkat UU No. 2 Tahun 2002 tenang kepolisian negara Republik Indonesia. UU ini menegaskan kepolisian merupakan alat negara yang memiliki fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dari perangkat UU tersebut, ada beberapa hal mendasar yang perlu kita ulas lebih lanjut. Yaitu – pertama – kepolisian sebagai alat negara, bukan kekuasaan. Postur ini menggambarkan posisi dan peran kepolisian Indonesia ada dalam ranah negara hukum, bukan negara kekuasaan (machtstaat). Maka, operasionalisasi kerja kepolisian selalu mendasarkan konstruksi hukum, bukan lainnya, apalagi alat kekuasaan pihak tertentu, katakanlah pemodal atau kekuatan oligarkis. Landasan ini menggambarkan profesionalisme jatidiri kepolisian yang senantiasa harus tunduk pada ketentuan hukum positif. Sikap profesional ini sungguh mulia jika dipertahankan, di manapun dan dalam  kondisi apapun. Publik akan menghargai cara dan tindakan profesional yang mendasarkan format hukum, bukan kepentingan pihak tertentu.

Perlu kita catat, publik akan langsung berteriak (mengkritisi secara negatif) manakala tindakannya mengarah pada keberpihakan tertentu yang menodai prinsip keadilan. Karena itu ssalah satu jabaran penting dari konsep dasar dari PRRESISI adalah menciptakan kondisi berkeadilan. Dalam era demokrasi saat ini dan zaman informasi yang canggih ini, reaksi publik akan sangat kencang manakala menyaksikan sikap dan tindakan “pesanan”. Ketika hal itu terjadi, maka marwah kepolisian jatuh. Karena itu, tak ada opsi lain kecuali kepolisian saat ini harus tunduk pada tuntutan zaman demokratik ini.

Kedua, meski kepolisian punya otoritas secara hukum dalam menjalankan fungsi pengamanan dan ketertiban, tapi – sejalan dengan tuntutan demokrasi – maka, sikap dan tindakan kepolisian harus tunduk pada prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia. Refleksinya, sistem operasionalisasi di lapangan, kepolisian tak boleh keluar dari koridor kepentingan kemanusiaan. Mewujudkan keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat dan negara memang itu salah satu fungsinya, tapi tidak boleh menabrak sendi-sendi kehidupan manusia, yang – masing-masing – punya hak konstitusional. Dalam kondisi apapun, hak asasi manusia tidak boleh diabaikan oleh para penegak hukum dari unsur kepolisian. Inilah jatidiri aparat kepolisian sebagai bagian dari keberadaannya dari rakyat, meski untuk rakyat dan oleh rakyat. Karena itu, tidaklah berlebihan ketika muncul keinginan publik bagaimana “meng-HAM-kan” aparat kepolisian sebagai satu kesatuan yang inheren dalam sistem menjalankan tugas pengamanan dan penertiban.

Yang menjadi tantangan kini, liberalisasi demokrasi yang telah berlangsung di negeri ini telah membius warga negara dalam mengartikulasikan hak-haknya yang kadang melampaui batas. Agresivitasnya cenderung mengganggu keamanan dan ketertiban. Kebebasan tanpa batas yang kadang anarkis itu – mau tak mau – harus dicegah. Agar artikulasi haknya tidak mereduksi hak-hak pihak lain. Inilah tantangan aparat penegak keamanan dan ketertiban di lapangan, yang – dalam kesehariannya – diperhadapkan realitas kontrarian yang cukup memojokkan posisi kepolisian.

Lalu, haruskah dihadapi secara represif? Amanat UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan itu jelas: tidak boleh menyakiti secara fisik kepada siapapun yang sedang mengamalkan amanat konstitusi (Pasal 28 UUD 1945), yakni kebebasan menyampaikan pendapat dan bersyarikat. Dan penegasan pro kemanusiaan pun disampaikan oleh Kapolri saat baru dilantik pada 21 Januari 2021. Karena itu, sikap Kapolri ini harus diterjemahkan oleh seluruh jajaran di seantero bumi Indonesia ini. Postur kepolisian dalam era demokrasi ini sudah bukan zamannya lagi mengedapankan sepatu laras dan ototnya dalam menghadapi kekuatan massa. Mobokrasi – sistem kekuasaan yang mengedapankan kekerasan – sudah out of date, kontraproduktif bagi citra institusi Polri.

Baca:  Membaca Titik Kelemahan Putusan PTTUN Makassar

Kami – dari anasir Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – yakin, Polri sudah memiliki program strategis itu. Tinggal megartikulasikannya secara praksis konsep PRESISI ke seluruh jajaran kepolisian di berbagai wilayah dan daerah. Sistem komando haruslah dijalankan dengan penuh sadar. Dua hal penting yang perlu dijadikan pedoman kerja: profesionalisme yang humanis. Agar terwujud keadilan yang memang sangat dinanti seluruh masyarakat.

Atas nama prinsip humanis, itulah sebabnya, beberapa waktu lalu Kapolri memberlakukan restorative justice untuk kasus kasus ringan. Tidak semua kasus warga negara seperti pencemaran nama baik harus diselesaikan secara hukum (peradilan). Penyelesaian secara kekeluargaan juga merupakan proses penegakan hukum yang sarat dengan dimensi kemanusiaan. Hal ini haruslah diterjemahkan secara operasional di seluruh Polda, Polres dan Polsek. Tak boleh masing-masing Polda, Polres dan Polsek “menterjemahkan” sendiri sesuai kepentingannya. Haruslah hindarkan sikap dan tindakan hukum yang bernuasa eksploitatif, yang jelas-jelas tidak membuat publik nyaman dan tenang.

Atas nama kepentingan kemanusiaan itu pula, kita saksikan Kapolri banyak melakukan komunikasi produktif dengan sejumlah elitis masyarakat. Langkah ini dinilai efektif dalam membangun kesepehaman dalam upaya mencegah riak-riak sosial yang berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan.

Selamat dirgahayu Bhayangkara. Tagline sebagai pelindung dan pengayom masyarakat – jika diterapkan secara pasti, berkeadilan dan berkemanusiaan – akan membuahkan jatidiri Polri yang berwibawa, berdedikasi dan kian dicintai. Buah manis lainnya pun akan tergapai: masyarakat merasa aman dan nyaman. *

Jakarta, 20 Juni 2021

Penulis adalah Ketua Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)

error: Content is protected !!