Oleh: Farhat Abbas
MELALUI Permendagri No. 15 Tahun 2021, per Jam: 0:0 WIB, 3 Juli, Pemerintah mengefektifkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk seluruh wilayah Jawa – Bali. Berlaku sampai 20 Juli mendatang. Selama 18 hari sejak diberlakukan, Pemerintah melarang tegas kegiatan masyarakat dalam berbagai sektor. Ada yang total (100%) meski berstatus tutup sementara seperti pusat perbelanjaan, rumah ibadah, fasilitas umum, seni-budaya kemasyarakatan, serta kegiatan belajar-mengajar dengan total sistem daring. Ada juga, dikurangi prosentasenya (maksimal 50%) seperti kegiatan perkatoran kecuali sektor esensial dengan work from home (WFH). Sementara, untuk kegiatan penyedia kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasionalnya: maksimal jam 20.00 dan kapasitasnya hanya 50%.
Yang perlu kita catat lebih jauh, di balik kebijakan yang terkesan sangat pro kemanusiaan itu, kita menatap, bagaimana dampaknya bagi kepentingan sosial-ekonomi saat ini? Lalu, bagaimana potret perekonomian mendatang? Untuk hal itu, ada beberapa variabel yang perlu kita soroti secara khusus.
Kita perlu berangkat dari acuan UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Pasal 7 yang – secara eksplisit – menegaskan bahwa setiap orang (warga negara) berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan dan kebutuhan sehari-hari selama karantina berlangsung.
Ketentuan tersebut, perlu kita garis-bawahi bahwa PPKM Darurat, PSBB atau apapun nama kebijakannya merupakan pengkarantinaan, yang sesungguhnya bentuk kebijakan lockdown. Di sejumlah negara seperti Turki, Korea Selatan, Malaysia termasuk negara miskin seperti Bangladesh, sebelum melockdown, Pemerintah mencukupi kebutuhan pangan seluruh rakyatnya, bukan hanya yang tercatat miskin. Gratis. Di negeri ini tergolong tidak menganut ketentuan UU Kekarantinaan itu secara konsekuen. Aneh tapi nyata. Dapat dipahami, karena besar kemungkinan tak tersedia anggaran yang mencukupi. Jika asalannya seperti itu, mengapa Banglades bisa melakukan pemenuhan kebutuhan? Apa Indonesia lebih miskin dari Banglades? Tidak. Menurut Bank Dunia, per kapita Indonesia per tahun 2020 sebesar US$ 3.869,6 dan Banglades US$ 1.968,8. Kesimpulannya, ada problem kemauan politik kemanusiaan negeri ini yang kurang. Atau ada mismanagement tata-kelola keuangan negara, dan atau adanya penyalahgunaan seperti korupsi dan lainnya.
Biarlah publik yang menilai di antara kedua sikap itu: kurang peduli atau adanya mismanagement dan atau penyalahgunaan wewenang. Kini, yang lebih urgen adalah konsekuensi pemberlakukan kebijakan pengakarantinaan. Mengacu UU Kekarantinaan itu, maka penerapan PPKM Darurat yang berlaku se-Jawa dan Bali mewajibkan Pemerintah untuk menanggung kebutuhan pangan dan kebutuhan harian untuk masyarakat se-Jawa dan Bali, yang totalnya – menurut sensus penduduk September 2020 – mencapai 115.242.970 jiwa.
Rinciannya, 11.904.562 jiwa (Banten), 10.562.088 jiwa (DKI Jakarta), 48.274.162 jiwa (Jawa Barat), 36.516.035 jiwa (Jawa Tengah), 3.668.719 jiwa (DI Yogyakarta) dan 40.665.696 jiwa (Jawa Timur) dan 4.317.404 jiwa (Bali). Jika diratakan kebutuhan hariannya Rp 100.000 saja per hari, maka Pemerintah harusnya telah mendistribusikan anggaran sebesar Rp 11.524.297.000.000/hari dikalikan 18 hari (masa PPKM Darurat) = Rp 207.437.346.000.000, dibulatkan Rp 207,4 trilyun. Angka ini jelaslah minimal, karena tidak semua anggota masyarakat bisa menahan diri hanya dengan Rp 100.000 per hari.
Sebuah renungan, apakah setelah 18 hari, PPKM Darurat akan berakhir? Tak ada jaminan. Ulasan media asing (Wallstreet Journal) beberapa hari lalu, covid-19 dengan pebambahan variannya, bukan hanya masih tetap lama berakhirnya (bisa sampai lima tahun ke depan), tapi semua individu di dunia ini – pada akhhirnya – akan terpapar covid-19, meski tidak seganas seperti sekarang. Karena itu, menjadi tanda tanya besar untuk meyakini titik akhir masa berlaku PPKM Darurat.
Dalam konteks Indonesia makin diragukan lagi. Sebab, di masa PPKM Darurat ini justru Pemerintah membiarkan makin derasnya arus masuk tenaga kerja asing (TKA) dari China yang mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Covid-19 yang sudah berkembang variannya melalui udara berpotensi menyebar cepat ke sekitar Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Tidak tertutup kemungkinan terjadi mutasi secara estafet dan ekstensif ke daerah DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Bali. Karena itu, terdapat potensi perpanjangan waktu lockdown. Persis yang terjadi pada PSBB yang beberapa kali diperpanjang.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika muncul hitungan penanggulangan sosial-ekonominya berpotensi lima kali lipat bahkan lebih. Berarti, setidaknya perlu alokasi anggaran sebesar Rp 1.037 trilyun bahkan lebih. Asumsi ini – sekali lagi – tak lepas dari catatan empirik peningkatan jumlah korban pandemik, di samping faktor ketidaksiplinan pemberlakuan PPKM terhadap bagi para TKA yang berdatangan dari China, pusat pertama persebaran covid itu. Apakah transit mereka yang hanya beberapa jam di bandara Soeta berpotensi memperluas persebaran virus? Fakta itu sulit dibantah.
Discussion about this post