Adakah dana tersebut untuk mensubsidi kebutuhan seluruh rakyat Jawa-Bali itu? Diragukan. Sampai Mei 2021 kemarin, cadangan devisi kita hanya US$ 136,4 milyar, atau – dengan nilai tukar rupiah hari ini Rp 14.476,5 perdolar AS – sama dengan Rp 1.974,635.52 milyar (menurun 1,7% dibanding sebulan sebelumnya, yakni US$ 138,8 milyar atau Rp 2.009,379.84 milyar. Apakah cadangan devisa ini tergolong aman atau mengkhawatirkan? Semuanya tergantung penggunaannya yang akuntabel dan amanah atau dijadikan bancakan.
Karena itu, kita bisa pahami ketika konsentrasi kebijakan yang muncul adalah menyasar penduduk miskin di enam provinsi itu sebagai kompensasi PPKM Darurat. Ini berarti, Pemerintah harus mempersiapkan alokasi anggaran untuk 14.948.960 jiwa. Menurut catatan Biro Pusat Statistik BPS per September 2020 lalu, Provinsi Banten tercatat 857.640 jiwa penduduk miskin. Di DKI Jakarta mencapai 496.840 jiwa. Di Jawa Barat mencapai 4.188.520 juta jiwa, Jawa Tengah 4.119.930 juta, DI Yogyakarta 503.140, Jawa Timur 4.585.970 jiwa. Sedangkan di Bali tercatat 196.920 jiwa. Semua penduduk miskin itu harus ditanggung hak pangan dan kebutuhan sehari-harinya.
Andai para penduduk miskin se-Jawa-Bali mendapatan bantuan tunai langsung Rp 300.000 per jiwa, berarti dianggarkan Rp 4.484.696.000.000. Sementara, belum lama ini Pemerintah menegaskan bahwa dalam bulan Juli ini akan segera terkucur dana atas nama penanggulangan sosial-ekonomi sebesar Rp 2,3 trilyun. Rencana pengeluaran bantuan sosial yang berbeda (hampir separuhnya dengan data penduduk miskin) – di lapangan – pasti akan menimbulkan kericuhan akibat kecemburuan yang ada.
Barangkali, kericuhan itu bisa dipadamkan dengan pendekatan kebijakan lain. Yaitu, sebagian masyarakat menerima bantuan tunai langsung (uang). Tapi, sebagian bantuan sosial bentuk sembako. Dan menurut informasi, Pemerintah telah menganggarkan sejumlah dana untuk 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan sebesar 10 juta untuk program keluarga harapan (PKH). Ragam bantuan ini harusnya dihindari daripada memunculkan konflik di lapangan akibat ada yang terima dan tidak. Model sembako dengan beragam target penerima ini tetap mengundang persoalan di lapangan, apalagi sampai terjadi penyalagunaan (korupsi atau penyunatan nilai).
Kita dapat mencatat kebijakan penanggulangan sosial-ekonomi – pada dasarnya — merupakan upaya pengendalian masyarakat yang mutlak tak bisa ditawar-tawar. Berdimensi prokemanusiaan, sekaligus mencegah letupan politik. Tapi, kebijakan ini – dalam kondisi ekonomi yang masih sangat loyo saat ini – tak akan mungkin tercover dari ketersediaan cadangan devisi yang ada. Andalan utamanya hanya satu: menambah utang luar negeri (ULN). Sementara, posisi ULN kita kini (per Februari 2021) sudah mencapai US$ 422,6 milyar atau sekitar Rp 6.169,96 trilyun. Akibat PPKM Darurat dan jika harus utang lagi, maka posisi ULN berpotensi menembus angka di atas Rp 7.000 trilyun. Akan ke mana lagi ULN kalau bukan ke Bank Dunia atau IMF. Ke China? Wait. Nanti dulu. Jika terpaksa ke China, bukan hanya akan dikategorikan pinjaman komersial, tapi ketentuan risiko yang jauh lebih mengkhawatirkan bagi kedaulatan negeri ini. Sebab, wilayah dan serangkaian sumber daya alamnya akan menjadi bagian dari paket perjanjian ULN secara bilateral dengan China. Bukan cerita baru.
Sementara, jika solusinya mengandalkan perkembangan ekonomi domestik jelas tak bisa diharapkan. Landasannya, sektor UMKM pun tergebuk. Seperti kita ketahui, pusat-pusat perbelanjaan dan perdagangan yang menjadi faktor penting terjadinya transaksi publik ditutup sementara. Penutupan sementara juga diberlakukan untuk sektor wisata. Dan pusat-pusat perdangan pangan dan makanan hanya diperkanankan buka: maksimal sampai jam 20:00 dengan kapasitas maksimal 50%. Seperti kita ketahui, sektor ini pemberi andil terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 56,4%. Dengan kontraksi penerimaan yang sangat tajam, maka pendapatan negara – dengan sendirinya – drop secara serius. Per Juli 2020, pendapatan negara hanya mencapai Rp 922,2 trilyun (54,3% dari target perubahan APBN dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang besarannya Rp 1.699,9 trilyun.
Mencermati kondisi keuangan negara, Partai Negeri Dauat Negeri (PANDAI) melihat jelas bahwa PPKM Darurat memang penting, tapi konsekuensi dari penerapan kebijakan itu sungguh memberatkan keuangan negara saat ini. Yang perlu kita catat, peninggalan persoalan ini akan menjadi beban yang sangat memberatkan bagi pemimpin berikutnya, siapapun dia. Jika pemimpin berikutnya tidak kridebel apalagi stupid, maka Indonesia – bisa jadi – “kiamat” atau kian hancur. Tentu tak diharapkan. Karena itu, tugas kita saat ini adalah mendorong Pemerintah agar tidak main-main atas persoalan keuangan negara. Bukan aji mumpung (capredium: Latin) dan asyik menjalankan politik devide et empera. Inilah sikap tepo seliro dan ekspresi rasa sayang atau kepedulian terhadap generasi penerus, sebagai sang pemimpin ataupun anak-bangsa. *
Jakarta, 6 Juni 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post