Oleh: Maharifka Rizky Humaerah
DALAM politik dan birokrasi Indonesia yang sering kali diwarnai kompromi, kehadiran sosok Purbaya Yudhi Sadewa kini menjadi anomali yang menarik perhatian publik. Sebagai Menteri Keuangan di kabinet baru Presiden Prabowo, Purbaya tampil dengan gaya kepemimpinan yang tegas, berani, dan tanpa basa-basi.
Ia tidak segan menegur rekan sejawat di kabinet, termasuk Bahlil Lahadalia dan Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan menyinggung keras Pertamina sebagai BUMN strategis yang dianggap terlalu lamban dan sarat kepentingan dalam pembangunan kilang minyak nasional.
Bagi banyak kalangan, keberanian Purbaya bukan semata bentuk konfrontasi personal, melainkan simbol kebangkitan teknokrasi di tengah dominasi politik dan oligarki. Ia berbicara dengan data, mengambil risiko dengan sikap, dan membangun kepercayaan publik melalui ketegasan yang jarang terlihat di tubuh pemerintahan.
1. Konflik Terbuka dengan Bahlil dan Luhut
Awal kisruh terjadi ketika Purbaya mengumumkan bahwa harga asli LPG 3 kg sesungguhnya mencapai Rp42.750, sementara harga jual ke masyarakat hanya Rp12.750 karena disubsidi.
Pernyataan ini segera dibantah Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang menyebut Purbaya “salah baca data”.
Namun Purbaya tak gentar. Ia menjelaskan bahwa angka tersebut hasil simulasi staf Kementerian Keuangan berdasarkan struktur biaya impor dan distribusi, bukan sekadar data statistik dari ESDM.
Dalam konferensi pers, ia menegaskan: “Kita tidak boleh hanya melihat angka, tapi juga struktur kebocoran di dalamnya. Kadang data rapi di atas kertas, tapi bocor di lapangan.”
Pernyataan itu menyiratkan sesuatu yang lebih dalam: masalah efisiensi dan transparansi subsidi energi yang selama ini ditutup-tutupi oleh jaringan kepentingan ekonomi-politik.
Bagi publik, Purbaya bukan hanya sedang membantah Bahlil, tetapi sedang membuka tabir inefisiensi sistemik yang selama ini dianggap “tabu” dibicarakan terbuka.
Tak lama setelah itu, Purbaya kembali menimbulkan kontroversi. Ia mengumumkan akan menarik kembali sebagian anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) apabila hingga akhir Oktober 2025 serapan anggarannya tidak mencapai 50 persen.
Padahal, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai tokoh senior kabinet dan pengarah program strategis nasional, meminta agar dana MBG tidak ditarik dengan alasan program masih dalam tahap penyesuaian lapangan.
Namun Purbaya bergeming. Ia menegaskan bahwa “uang negara bukan untuk disimpan di rekening kementerian”, melainkan untuk rakyat.
“Kita tidak boleh menjadikan anggaran negara sebagai alat pencitraan. Jika tidak efektif, akan saya tarik dan alihkan ke sektor yang lebih produktif,” ujarnya.
Sikap tegas itu mendapat tepuk tangan publik — terutama dari kelompok akademisi dan aktivis antikorupsi — yang sudah lama berharap ada pejabat berani melawan kebijakan populis yang tidak efisien.
2. Sindiran Keras untuk Pertamina: Bukan Malas, Tapi Ada Permainan
Salah satu pernyataan Purbaya yang paling mengguncang datang dalam forum terbuka di Jakarta awal Oktober 2025. Ia menyindir keras Pertamina yang dinilai “malas membangun kilang baru” padahal kebutuhan energi nasional terus meningkat dan impor BBM kian membebani APBN.
Namun yang menarik, Purbaya menegaskan bahwa “masalahnya bukan sekadar malas, tetapi ada permainan di dalamnya.”
Pernyataan ini mengejutkan banyak pihak karena jarang ada pejabat tinggi yang berani menuding langsung adanya permainan internal di tubuh BUMN strategis.
Menurut Purbaya, proyek-proyek pembangunan kilang seperti Cilacap, Tuban, dan Balikpapan sering kali tersendat bukan karena keterbatasan anggaran, tetapi karena tumpang tindih kepentingan antara vendor, pengambil keputusan, dan aktor politik yang bermain di balik layar.
“Kalau memang ada komitmen membangun kemandirian energi, mengapa studi dan tender terus diulang, sementara impor jalan terus? Ini bukan sekadar malas — ini sistem yang dibuat agar tetap tergantung,” katanya lantang.
Purbaya menegaskan bahwa impor BBM menjadi ladang subur rente ekonomi yang melibatkan pemain besar di dalam dan luar pemerintahan. Dengan demikian, menunda pembangunan kilang adalah cara halus mempertahankan “status quo” yang menguntungkan kelompok tertentu.
Sindiran ini dianggap sebagai bom politik, karena menyentuh jantung kepentingan oligarki energi nasional. Namun bagi publik, inilah jenis keberanian yang selama ini mereka rindukan — pejabat yang berani berkata jujur dan membuka “dapur gelap” pengelolaan BUMN.
3. Mengapa Publik Menyukai Sikap Purbaya
Banyak warga menganggap Purbaya sebagai simbol pejabat baru yang berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan.
Ketika ia menegur Pertamina, publik menilai itu bukan upaya mencari sensasi, melainkan bentuk kepedulian terhadap beban rakyat akibat mahalnya harga BBM dan LPG.
Gaya komunikasinya yang lugas membuatnya mudah diterima publik. Ia berbicara seperti akademisi yang sedang mengajar, tetapi dengan keberanian seorang reformis.
Dalam konteks politik pasca-Pemilu, gaya seperti ini terasa menyegarkan.
Purbaya menampilkan sosok teknokrat yang tidak tunduk pada kekuasaan ekonomi dan politik.
Publik memandangnya sebagai antitesis dari gaya lama: pejabat yang hanya menjadi bagian dari sistem, bukan pengoreksi sistem.