Oleh: Mukhaayatu Naiim Shafiyah Yuana
SEBAGAI salah satu negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam, sudah seperti menjadi kebiasaan mendidik anak beribadah sejak kecil, salah satunya puasa. Sejak kita masih di Sekolah Dasar, masuk ke Sekolah Menengah Pertama hingga lulus dari Sekolah Menengah Atas, materi dan pembelajaran tentang Ramadhan, keistimewaan dan kewajiban selama Ramadhan tidak pernah lupa untuk dibahas setiap tahunnya. Setelah menjadi dewasa pun kebiasaan itu terbawa.
Jika anak SD belajar makna puasa, makna puasa itu terasa pendek hanya sekedar “menahan lapar dan haus dr terbit matahari sampai terbenam”. Semakin kita dewasa, makna puasa tidak lagi sesingkat itu, puasa bukan sekedar menahan diri dari lapar dan haus, tapi juga hawa nafsu. Hawa nafsu untuk marah-marah, hawa nafsu untuk bermalas-malasan, hawa nafsu untuk mengisi waktu luang dengan hal yang tak berguna, kita semua berusaha untuk menahan diri dari banyak hal.
Maka Ramadhan adalah sebuah ajang mengenal jati diri kita sendiri. Kok bisa seperti itu?
Seperti yang kita ketahui, pada bulan Ramadhan bulan yang suci ini semua setan dibelenggu. Jadi, setiap kali seorang insan melakukan maksiat, ia tidak bisa bersembunyi dibalik kata “saya khilaf, setan telah menggoda saya”
Setan dibelenggu, namun hawa nafsu setiap insan tidak dibelenggu. Sehingga, ketika seseorang di bulan Ramadhan melihat dirinya malas, melihat dirinya tak rajin beribadau, sholat bolong-bolong atau pun masih ada maksiat yang dikerjakan. Sungguh itu memang jati dirinya.
Pun, begitu juga dengan orang yang di Ramadhan ini beribadah sungguh-sungguh, mengaji tiap saat, sedekah, sholat sunnah dan mengerjakan banyak amal kebaikan, sungguh itulah jati dirinya.
Sebab, di bulan Ramadhan ini adalah bulan yang benar-benar menentukan dan mengeluarkan jati diri kita yg sebenarnya seperti apa.
Waallhu a’lam bis showab. *
(Penulis adalah Sekretaris Bidang Kaderisasi PKS Banggai dan Alumni Universitas Teknologi Sumbawa)
Discussion about this post