Perlu kita garis-bawahi, megaproyek IKN hanyalah menggiring rasio pembenar untuk memperpanjang masa jabatan presiden, meski tetap dalam satu periode kedua ini. Sang rezim pun tak akan pernah mau introspeksi dominasi kegagalan kepemimpinannya, terkait sektor ekonomi dan meneter, sosial, politik, hukum, pertahanan, sisi keagamaan dan pernak-pernik kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir seluruh bidang tercatat merah raportnya. Karenanya, reaksi kontranya demikian meluas. Bukan hanya pemaksaan megaproyek itu bagai besar pasak daripada tiang, tapi adanya indikasi kuat tentang muatan kepentigan kaum oligarkis yang terus membuntuti rezim.
Yang memperihatinkan adalah megaproyek seperti IKN hanyalah hiden agenda yang bersifat antara. Yang harus dibaca lebih jauh adalah agenda global masa depan, yaitu how to occupy negeri ini, meski – jangka pendeknya – lebih ke sektor ekonomi (sumberdaya alam dan mineral) yang tak terhingga itu.
Sekali lagi, gagasan perpanjangan masa jabatan dalam periode kedua ini masih tetap dihembuskan. Belakangan ini muncul menuver: menekan partai politik untuk menyetujui gagasan itu. Dalam hal ini – pada 3 Maret, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) – mengundang para Ketua Umum partai politik di Hotel Mulia – Senayan (Jakarta). Yang hadir Ketua Umum Golkar, PKB dan PAN. Sedangkan PDIP, Gerindra, NasDem dan PPP menolak hadir. Arahnya, membangun komunike politik yang diinginkan istana. Muncul renungan, mengapa ketiga partai politik itu yang memenuhi undangan LBP?
Jawabannya sederhana: ketiga Ketua Umum partai politik itu tersandera kasus hukum. Jika membangkang, masa depan politik ketiga ketua umum itu akan tamat. Juga, akan berkahir di belik jeruji besi. Karena itu, ketiga ketua umum tersebut tampaknya tak berdaya dan hanya satu kata: sendiko dawuh pada skenario istana. Ketiga ketua umum partai politik itulah yang akan memainkan drama politiknya di parlemen, di samping menggiring opini publik. Arahnya bukan bicara amandemen Pasal 7 UUD NRI 1945, tapi pelemahan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketiga fraksi dari Golkar, PKB dan PAN akan memainkan persoalan anggaran penyelenggaraan pemilu. Dengan dalih problem keuangan negara akibat covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari tahun dan belum ada tanda-tanda keberakhirannnya, maka krisis keuangan ini sengaja dihembuskan. Arahnya membuat KPU tak akan siap laksanakan amanat UU kerena tidak tersedia anggaran yang cukup. Penjegalan anggaran – sesuai fungsinya, antara lain penyusunan anggaran – mereka akan mengulur waktu (takes time) dengan sejumlah argumentasi “ngeyelnya”, meski sekedar mencari-cari alasan. Inilah yang bekal dimainkan secara maksimal, sehingga waktu ke 14 Februari 2024 semakin terkurangi secara signifikan. Ketok palu anggaran yang tak kunjung pasti akan berdampak (menyulitkan) KPU ambil jadwal pelaksanaan. Hal ini akan membuat KPU – secara kondisional – dibikin tak berdaya untuk melaksanakan etape persiapan, terutama yang terkait dengan konsekunsi finansial.
Itulah skenario pelemahan KPU. Yang perlu kita catat lebih jauh, bagaimana sikap PDIP, Gerindra, NasDem, Demokrat, PKS dan PPP? Konfigurasi suara mereka ini jelaslah lebih unggul dibanding total suara Golkar, PKB dan PAN. Karena itu keenam fraksi tersebut harusnya mampu “menyikat” siasat ketiga partai yang kini sudah mengumandangkan suara penundaan pemilu sesuai keinginan istana. Apapun intensitas lalu-lintas suara pro-kontra pemilu ditunda akan mewarnai gedung parlemen. Namun demikian, di atas kertas, pelemahan KPU akan mental, sebab pijakannya hanya mengakomodasi kepentingan sempit istana.
Dunamika politik yang – di atas kertas masih memburamkan ambisi rezim – maka, tampaknya istana sedang membangun skenario lanjutan. Yaitu, mempersiapkan Panglima TNI, Andhika Prakasa sebegai penerus Jokowi. Salah satu indikator awal yang dapat dibaca adalah perpanjangan masa pensiun TNI sampai pada usia 60 tahun. Desain perpanjangan masa pensiun TNI sejatinya untuk mengakomodir kepentingan Panglima. Dan kebijakan ini tak lepas dari kepentingan rezim berkuasa dalam upaya membangun estafeta roda kepemimpinan yang sehaluan. Rezim saat ini boleh berhenti sesuai habisnya masa jabatan. Tapi, rezim ini memandang krusial untuk mempertahankan keberlanjutan kebijakan yang telah diambil, di antaranya megaproyek IKN dan kemesraan hubungan dengan China. Sejalan dengan posisi strategis Andhika saat ini, maka nama-nama seperti Ganjar Pranowo, apalagi Puan Maharani dan Prabowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil dan Chofifah Indraparawansa, bahkan Farhat Abbas tidak masuk dalam sebagai capres yang diharapkan rezim sekarang.
Meski demikian, sejumlah nama tersebut akan tetap dinilai strategis sebagai mitra utama pembangunan positioning Andhika menuju 2024. Tak tertutup kemungkinan, di antara tokoh itu akan digadang-gadang sebagai wakil presidennya. Tokoh yang dinilai sangat magnetik diperlukan: untuk mendulang suara dari berbagai komponen bangsa, termasuk kalangan ideolog dan reformis-nasionalis. Strategi ini harus dibaca dengan cerdas. Agar tidak terperangkap oleh desain politik tricky itu.
Boleh jadi, untuk menutup rapat desain yang tricky itu, akan dimunculkan peta konflik domestik. Desain itu menggiring kondisi politik bangsa-negara cheostik. Maka, Panglima akan dijadikan garda terdepan untuk pemulihan nasional itu. Meski pengendalian situasi ada di Kementerian Pertahanan, namun – secara operasional – yang bertindak di lapangan adalah TNI. POLRI pun hanyalah komplemen stabilisasi. Di sanalah, Panglima TNI dinilai sebagai pihak yang paling berjasa dan pro rakyat.
Karena itu, situasi penting saat ini – di tengah krisis multidimensi yang makin akut dan jauh dari prospek penyelesaian – maka pembiaran kondisi nasional sampai 14 Februari 2024 merupakan kondisi yang harus dipahami seluruh elemen bangsa. Jika terpancing dengan skenario konfliktual, maka rotasi kekuasaan justru akan jatuh pada pihak yang sesungguhnya tidak diharapkan seluruh rakyat. Situasi keterpaksaan hanya akan mengantarkan calon pemimpin yang tak jauh beda dari kondisi keamburadulan saat ini. Inilah kedewasaan bangsa ini. Tidak mudah memang. Tapi, sebagai bangsa yang yang sudah memasuki masa kemerdekaan 77 tahun dan 79 tahun nanti pada 2024, sudah seharusnya mampu membangun kedewasaan nasionalistik yang prima (matang). Tidak mudah tergiring ke skenario picik dan sempit.
Ada satu kisi yang harus dibaca dengan tegas dan jelas. Mencermati dinamika dan skenario jahat itu, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) melihat adanya para “teroris” konstitusi yang bergentayanga. Mereka terus bergerilya untuk berusaha mengubah konstitusi. Juga membangun opini liar yang berusaha mengkondisikan rakyat agar menerima pandangan dan upaya memperpanjang masa jabatan. Juga, berusaha membangun komunike kepada ketua-ketua umum partai politik dengan tujuan serupa bahka lebih. Yaitu, ikut serta memgkondisikan pembenaran perpanjangan masa jabatan presiden (tiga periode atau tambah dalam periode kedua. Dan – satu lagi – yakni skenario konfliktual yang mengarah ke situasi cheostik.
Para aktor itu jelas mengarah para perusakan bahkan penghancuran secara sistimatis dan terencana terhadap konstutusi. Mencermati kehancuran yang diprediksi sangat destruktif dari sisi sosial-politik, ekonomi, bahkan potensi kehancuran infrastruktur, maka seluruh aktor yang terlibat itu layak dicap lebih dari teroris yang kita kenal selama ini. Teroris konstitusi akan mendera jutaan penduduk negeri ini, disamping tatanan kenegaraan. Itulah sang teroris konstitusi yang harus membangkitkan kesadaran seluruh elemen bangsa, sebagai aparatur TNI-Polri, elemen masyarakat partai politik atau nonpartisan. Selagi berstatus warga negara Indonesia yang baik wajib untuk mengangkat “senjata” sesuai bidang atau kompetensinya. Arahnya, harus mampu mencegah gerakan inkonstitusional para teroris kekuasaan itu.
Dalam konteks ini ada urgensi untuk mencatat siapa saja dan dari kelompok mana saja, dari lingkaran istana, para inner circle, para desainer survey, para cendekiawan bayaran dan para tokoh politisi yang semua itu menyetujui dan mendukung upaya memperpanjangan masa jabatan presiden harus daftar sebagai teroris. Stigma ini harus dihembuskan, karena peranannya memang ikut serta dalam menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. *
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik: Luwuk Times
Discussion about this post