Fenomena seperti itulah yang kemudian dimaknai publik sebagai sikap politik Presiden Jokowi ikut cawe-cawe menentukan pemenangan pilpres.
Selain itu, sikap cawe-cawe Presiden Jokowi dalam politik praktis juga ditunjukkan jauh sebelumnya melalui operasi perpanjangan masa jabatan presiden maupun opsi penundaan pemilu 2024.
Dua menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang cukup getol mempromosikan Presiden Jokowi layak mendapatkan perpanjangan masa jabatan, yakni Menkomarinves Luhut Binsar Panjaitan, dan Meninves Bahlil Lahadalia.
Luhut antara lain coba meyakinkan publik lewat siasat “big data” 110 juta rakyat Indonesia menginginkan Jokowi diperpanjang masa jabatannya menjadi tiga periode.
Sedangkan Bahlil mencoba masuk lewat aspirasi petani sawit yang katanya, masih menginginkan Presiden Jokowi menjabat hingga tahun 2029.
Padahal disaat bersamaan rakyat sedang menjerit mahalnya harga minyak goreng, yang nota bene dihasilkan dari minyak kelapa sawit.
Begitu pula para petani sawit sedang dilanda keresahan oleh karena harga buah sawit ketika itu sedang jatuh ketitik paling rendah.
Dan rupanya gayung pun bersambut. Manuver perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi itu sempat mendapat persetujuan dan dukungan politik dari tiga parpol parlemen; Golkar, PAN, dan PKB. Namun upaya tersebut secara berangsur melemah dan redup setelah mendapat tentangan dari kelompok sivil society dan kalangan mahasiswa.
Apalagi PDIP sebagai parpol pendukung utama Presiden Jokowi, melalui Ketua Umumnya Megawati Soekarno Putri, lantang menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Lalu, apakah sikap cawe-cawe Presiden Jokowi pada perhelatan pilpres berbahaya?. Bukankah Presiden Jokowi berulang kali mengatakan, sikap cawe-cawenya itu tidak melanggar undang-undang?.
Dan benarkah demikian?Secara personal Presiden Jokowi tentu punya hak konstitusional untuk memilih capres yang diinginkannya. Akan tetapi hak Presiden Jokowi untuk dapat dipilih (kembali) dalam jabatan presiden pada Pemilu 2024 telah tertutup setelah yang bersangkutan dua kali menjabat presiden (Pasal 7 UUD 1945).
Nah kendati pun secara personal Jokowi mempunyai hak untuk memilih capres tertentu sesuai asprasinya, namun dalam kedudukannya sebagai presiden dan kepala negara, Presiden Jokowi wajib bersikap netral dan tidak cawe-cawe mengatur-ngatur parpol dan figur-figur tertentu yang layak untuk dicalonkan sebagai capres ataupun cawapres.
Apabila Jokowi tidak membatasi dirinya sendiri, dan dengan jabatan presiden/kepala negara yang melekat pada dirinya, kemudian berupaya mencampuri lebih jauh urusan pencapresan, maka hal ini tentu berbahaya dan mengancam kedaulatan rakyat sebagai asas dan konsensus konstitusi dalam suksesi kepemimpinan nasional (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Ingat, Presiden Jokowi sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi memegang, sekaligus membawahi 34 menteri/kementerian dan lembaga negara, termasuk TNI/Polri, Kejaksaan dan KPK.
Apalagi Presiden Jokowi telah mengangkat pula 24 Pj. Gubernur, 56 Pj. Walikota, dan 191 Pj. Bupati untuk mengisi kekosongan jabatan definitif kepala daerah hasil pilihan rakyat hingga pilkada November 2024 nanti.
Nah, apabila Presiden Jokowi bersikap tidak netral alias mau cawe-cawe memenangkan salah satu pasangan capres-cawapres, maka seluruh entitas dan sumber daya kekuasaan negara tersebut dapat dipakai dan digerakkan untuk kepentingan politik praktis bagi pemenangan kelompok/parpol/capres tertentu.
Disinilah titik krusial ancaman keutuhan bangsa.
Oleh karena berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur dan melarang keberpihakan pejabat penyelenggara negara, ASN, hingga para kepala desa harus dilanggar. Alih-alih bersikap netral, perangkat-perangkat penyelenggaraan pemerintahan tersebut justru berpotensi menjelma menjadi tim sukses bagi pemenangan pasangan capres-cawapres tertentu.
Dan ironisnya, uang untuk membiayai “tim sukses” cawe-cawe presiden itu berasal dari kas negara yang nota bene adalah uang rakyat.
Distrust Publik
Rasa-rasanya apa yang dikemukakan pihak istana terkait sikap cawe-cawe Presiden Jokowi untuk kepentingan pemilu yang jurdil dan demokratis pantas untuk dipercayai.
Akan tetapi melihat fenomena dimana Presiden Jokowi acap kali bersikap tidak konsisten antara ucapan dan tindakannya (ingat, para mahasiswa dari BEM UI pernah memberikan julukan “raja pembual” atau the king of lip service kepada Jokowi).
Maka makna cawe-cawe Presiden Jokowi seperti yang ditafsirkan Bey Machmudin agaknya sulit dipercaya publik. Menurunnya kepercayaan (distrust) terhadap Presiden Jokowi inilah yang memperuncing ruang kontroversi publik terkait sikap cawe-cawe Presiden Jokowi pada perhelatan pemilu dan pilpres yang sedang berproses. Demikian, wallahu alam bissawaf..!.*
Penulis adalah advokat dan aktivis LSM Yasfora, tinggal di Luwuk
Discussion about this post