Ditulis Oleh: Fitria A. Sulila, A.Md.Kom
PADA awal bulan Mei setiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari Buruh. Maka tak heran pasti di awal bulan Mei selalu berseliweran berita mengenai aksi buruh.
Tuntutan demi tuntutan terus digaungkan para buruh. Namun sayang itu semua hanya menjadi tuntutan kosong tanpa dipenuhi.
Apalagi jika kita melihat nasib buruh perempuan yang di sekitar kita. Banyak para wanita yang memutuskan mencari nafkah sehingga bukan hanya berperan sebagai tulang rusuk namun tulang punggung sekaligus dan yang sungguh memprihatinkan jika sampai menjadi buruh di luar negeri.
Bagaikan buah simalakama. Begitulah nasib buruh perempuan. Tetap bekerja keluarga berpotensi terabaikan. Namun jika tidak bekerja maka hidup semakin susah.
“Banyaknya perempuan yang menjadi buruh migran ini mengonfirmasi mereka tidak mendapatkan kesejahteraan di negaranya sendiri,” ucap Direktur Mutiara Umat Institute Ika Mawarningtyas dalam Obrolan Sore: Manifesto Aliansi Buruh Indonesia di YouTube Aliansi Buruh Indonesia, Ahad, 30 April 2023.
Seperti yang dilansir nasional.sindonews.com (26/4/2023), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, ada empat isu yang diangkat sebagai tuntutan Partai Buruh dan organisasi serikat buruh dalam May Day 2023.
Pertama, cabut omnibus law Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Kedua, cabut UU terkait parliamentary threshold 4%. Ketiga, tolak RUU Kesehatan. Keempat, sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). “Terkait dengan penolakan terhadap UU Cipta Kerja, ada sembilan poin yang akan diangkat dalam May Day. 2023,” ujarnya.
Said memaparkan, sembilan poin itu yakni mulai dari upah murah (upah minimum tidak dirundingkan dengan serikat buruh), outsourcing seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan (perbudakan modern/modern slavery), buruh dikontrak terus-menerus tanpa periode, pesangon rendah, pemutusan hubungan kerja (PHK) dipermudah, istirahat panjang dua bulan dihapus, dan buruh perempuan yang mengambil cuti haid dan melahirkan tidak ada kepastian mendapatkan upah.
“Poin berikutnya adalah buruh yang bekerja lima hari dalam seminggu hak cuti dua harinya dihapus, jam kerja buruh menjadi 12 jam sehari karena boleh lembur empat jam per hari sehingga tingkat kelelahan dan kematian buruh akan meningkat, buruh kasar tenaga kerja asing mudah masuk, dan adanya sanksi pidana yang dihapus,” ungkap Said.
May day hanya sekadar menjadi peringatan hari buruh saja. Berbagai aspirasi buruh melalui demo-demo yang dilakukan di Indonesia dan juga diberbagai belahan dunia lainnya menunjukkan dan menegaskan bahwa para buruh sangat jauh dari kata sejahtera.
Selama masih sistem kapitalisme yang menjadi pijakan, maka tidak akan ada kesejahteraan bagi buruh, sebab para kapitalis akan terus mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan para buruh.
Sistem saat inilah yang melanggengkan perbudakan modern. Buruh justru dieksploitasi untuk meningkatkan volume produksi demi keuntungan para pemilik modal, dan kesejahteraan pekerja diasosiasikan sekadar dengan kenaikan upah yang tak seberapa.
Apalagi terkait para perempuan yang kemudian menjadi buruh di luar negeri, padahal banyaknya SDM di negeri ini bisa dimanfaatkan dengan baik tanpa harus bekerja menjadi buruh ke luar negeri. Padahal peran perempuan sangat penting dalam mendidik anak-anaknya di rumah.
Discussion about this post