Reporter Naser Kantu
LUWUK, Luwuk Times.ID – Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) RI telah melakukan pemeriksaan dengan Tema Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) masing-masing yaitu terhadap Pengelolaan Program Indonesia Pintar (PIP) dan Pinjaman luar negeri Program Indonesia-Supporting Primary Health Care Reform/Indonesia Supporting Primary and Referral Health Care Reform (I-SPHERE).
Untuk PIP, hasil dari pemeriksaan atas periode TA 2018-Semester I 2020 pada Kemendikbud, BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan telah sesuai kriteria dengan pengecualian.
Secara akumulatif sejak TA 2018 hingga Semester I TA 2020, BPK menemukan terdapat penyaluran dana PIP kepada siswa minimal sebanyak 5.364.986 siswa atau sebesar Rp2,86 triliun tidak tepat sasaran karena diberikan kepada siswa yang tidak layak/tidak diusulkan menerima.
Secara khusus, BPK menyebutkan bentuk temuan permasalahan pada PIP meliputi:
Pertama, perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai, karena data pokok pendidikan (Dapodik) yang digunakan sebagai sumber data pengusulan calon penerima tidak handal, sementara Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) dan NIK belum digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan.
Hal ini mengakibatkan peserta didik pemilik KIP dan/atau yang berasal dari keluarga peserta PKH/KKS sebanyak 2.455.174 siswa kehilangan kesempatan karena tidak diusulkan dalam SK penerimaan bantuan PIP.
Selain itu, terdapat penyaluran dana PIP kepada siswa minimal sebanyak 5.364.986 siswa atau sebesar Rp2,86 triliun tidak tepat sasaran karena diberikan kepada siswa yang tidak layak/tidak diusulkan menerima.
Untuk itu, BPK merekomendasikan Kemendikbud melakukan verifikasi dan validasi isian dapodik dari satuan pendidikan dalam rangka pengelolaan PIP serta melakukan cleansing dan perbaikan data sesuai ketentuan tata kelola data yang berlaku, memiliki prosedur standar bagi operator dapodik untuk mengusulkan penerima PIP, menggunakan NISN dan NIK sebagai acuan pemberian bantuan, serta mempertanggung jawabkan penyaluran PIP kepada siswa yang tidak layak dan belum dicairkan dengan menyetorkan kembali ke kas negara.
Kedua, pelaksanaan penyaluran dan pencairan PIP tidak memadai, yang ditunjukkan dari SK penetapan penerima PIP tidak tepat waktu, pelayanan bank belum optimal dan menjangkau seluruh peserta didik, serta proses penyaluran PIP tidak sesuai ketentuan.
Ini mengakibatkan proses penyaluran dan pencairan dana PIP terhambat. Selain itu terdapat dana PIP tahun 2019 dan 2020 yang mengendap selama lebih dari 105 hari di bank penyalur sebesar Rp1,98 triliun, yang berpotensi memberikan penerimaan jasa giro sebesar Rp 167,90 miliar tetapi tidak dapat ditagih.
Untuk permasalahan ini BPK mengeluarkan rekomendasi agae Kemendikbud mengatur tentang timeline penerbitan SK dan penyaluran PIP secara jelas, dan meningkatkan pengendalian penyaluran PIP oleh bank penyalur, serta penyaluran dana PIP tahun 2019 dan 2020 yang belum dicairkan melebihi 105 hari agar dipertanggung jawabkan dengan mengembalikan ke kas negara.
Ketiga, penyaluran bantuan biaya pendidikan mahasiswa miskin berprestasi (Bidikmisi) belum dilakukan secara optimal, di antaranya dana Bidikmisi berupa biaya hidup dan biaya pendidikan sebesar Rp69,54 miliar belum disalurkan kepada penerima, dan terdapat 28 penerima Bidikmisi yang tidak terdaftar pada Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) dengan nilai bantuan sebesar Rp184,80 juta.
Akibatnya, Dana Bidikmisi tidak dapat dimanfaatkan oleh penerima dan terjadi kelebihan pembayaran atas penyaluran Bidikmisi kepada mahasiswa yang tidak terdaftar dalam PDDikti.
BPK merekomendasikan pada Kemendikbud agar mempertanggung jawabkan dana Bidikmisi yang belum disalurkan sebesar Rp 69,54 milyar, dan mengembalikan ke kas negara atas penerima dana Bidikmisi yang tidak terdapat dalam PDDikti dan tidak dapat ditelusuri keberadaannya serta menyusun petunjuk teknis penyaluran Bidikmisi/KIP Kuliah.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pengelolaan PIP mengungkapkan 7 temuan yang memuat 23 permasalahan.
Permasalahan tersebut meliputi 20 kelemahan sistem pengendalian intern, 2 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp 33,00 juta, dan 1 permasalahan 3E senilai Rp 2,86 triliun. *
Discussion about this post