Tunjangan Fantastis DPR: Potret Demokrasi Kapitalisme dan Solusi Islam

oleh -271 Dilihat
oleh

Oleh: Erviana

BEBERAPA media menyoroti bahwa pendapatan resmi anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.

Jumlah itu berasal dari gaji pokok Rp4,2 juta, tunjangan rumah Rp50 juta, tunjangan komunikasi, tunjangan kinerja, hingga tunjangan lain seperti beras Rp12 juta dan bensin Rp7 juta. (BeritaSatu.com, 28/08/2025)

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) bahkan melaporkan bahwa total pendapatan seorang anggota DPR bisa mencapai Rp230 juta per bulan.

Jumlah ini sungguh kontras dengan kondisi rakyat, mengingat rata-rata upah minimum di Indonesia hanya sekitar Rp3 juta.

Dengan demikian, anggota DPR menikmati pendapatan hingga 76 kali lipat lebih besar dibanding rakyat yang seharusnya mereka wakili. (CNBC Indonesia, 1/09/2025)

Di tengah kondisi rakyat yang kesulitan ekonomi, harga kebutuhan pokok naik, maraknya PHK, dan daya beli melemah, angka tunjangan sebesar itu terasa menyakitkan bagi masyarakat.

BACA JUGA:  Ojek Online: Kelas Pekerja Baru dengan Potensi Revolusioner

Banyak pengamat menilai besarnya tunjangan tidak sebanding dengan kinerja DPR yang dianggap rendah, misalnya rendahnya kehadiran dalam rapat paripurna atau minimnya legislasi yang pro-rakyat.

Bahkan, beberapa produk hukum yang lahir, seperti UU Cipta Kerja, justru dinilai lebih berpihak pada korporasi daripada rakyat.

Jabatan dalam Pandangan Demokrasi Kapitalisme

Fenomena gaji dan tunjangan besar bagi DPR sejatinya merupakan buah dari sistem demokrasi kapitalisme.

Dalam sistem ini, jabatan identik dengan akses terhadap fasilitas dan keuntungan materi.

DPR bahkan berwenang membuat regulasi tentang gaji dan tunjangannya sendiri, sehingga potensi konflik kepentingan sulit dihindari.

Politik pun berubah menjadi arena transaksional, bukan lagi sarana untuk melayani rakyat.

BACA JUGA:  Salah Satu Kamar Kos di Daerah Tompudau, Salakan, Jadi Tempat Transaksi Seksual Anak di Bawah Umur

Tunjangan fantastis dapat mencerminkan bahwa hilangnya empati terhadap penderitaan rakyat yang seharusnya mereka wakili.

Sistem ini jabatan dipandang sebagai alat memperkaya diri. Amanah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat bergeser menjadi upaya untuk mempertahankan fasilitas pribadi.

Akibatnya, muncul kesenjangan yang besar antara elit dan rakyat. Wakil rakyat menikmati fasilitas mewah, sementara rakyat yang diwakili justru hidup dalam kesusahan.

Hal ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya semakin menurun.

Lebih jauh lagi, demokrasi kapitalisme melemahkan rasa empati dan tanggung jawab keterwakilan.

Jabatan dianggap sebagai sarana memperkaya diri, bukan amanah untuk memperjuangkan kepentingan umat.

Sistem ini tidak dapat melahirkan pemimpin yang amanah, tetapi justru politisi pragmatis yang sibuk mempertahankan kursi dan fasilitas.