Zoran Mamdani dan Harapan untuk Politik Anak Muda Banggai

oleh -599 Dilihat
oleh
Supriadi Lawani (tengah)

Oleh: Supriadi Lawani


ZORAN Mamdani mungkin bukan nama yang akrab di telinga sebagian orang Indonesia. Anak seorang profesor keturunan India, seorang Muslim yang mengaku sebagai demokratik sosialis, kini terpilih menjadi wali kota New York di usia 34 tahun.

Bagi sebagian warga Amerika, ini paradoks. Sebab negeri yang sering terjebak dalam prasangka anti-imigran dan islamofobia itu justru mempercayakan salah satu kota terpentingnya kepada seorang anak muda imigran, sosialis, dan Muslim.

Donald Trump, dalam gaya khasnya, pernah terang-terangan menyebut Zoran sebagai “komunis.” Tapi justru dari situ terlihat perbedaan mendasar antara politik lama yang berisi serangan dan stigma, dengan politik baru yang dibawa generasi muda seperti Zoran — politik yang berbicara tentang gagasan, bukan hinaan; tentang solusi, bukan caci maki.

Dalam pidato-pidatonya, Zoran berbicara tentang perumahan rakyat, keadilan ekonomi, transportasi publik, dan hak pekerja.

Ia tidak memancing amarah, tapi mengajak berpikir. Ia tidak menjanjikan kemewahan, tapi menantang sistem yang timpang. Ia berdiri bukan di atas kekuatan uang atau dinasti politik, melainkan di atas kepercayaan bahwa akal sehat dan solidaritas masih mungkin tumbuh di jantung kapitalisme dunia.

Parallax Image

Kisah Zoran Mamdani ini seperti cermin yang menyentil kita di Indonesia, terutama bagi generasi muda yang ingin berpolitik.

Kita punya banyak anak muda cerdas, tapi sedikit yang berani berpihak. Banyak yang pintar bicara, tapi takut membela yang miskin.

Kita hidup di zaman ketika politik sering dianggap kotor, padahal justru karena ditinggalkan oleh orang-orang jujur dan bernurani, politik menjadi sesak oleh mereka yang haus kekuasaan.

Bayangkan jika di Kabupaten Banggai lahir sosok seperti Zoran Mamdani — anak muda yang memahami penderitaan rakyat, berpikir sistematis, dan mampu mengubah kemarahan menjadi gagasan.

Anak muda yang tidak sibuk menumpuk kekayaan, tapi menumpuk pengetahuan. Yang tidak takut disebut “radikal” hanya karena berani memperjuangkan keadilan sosial.

Kita tidak kekurangan anak muda, tapi kita kekurangan ruang bagi anak muda untuk tumbuh menjadi pemimpin. Politik lokal sering dikurung oleh dinasti, uang, dan patronase.

Banyak generasi muda yang punya potensi, tapi ketika masuk gelanggang politik, mereka diseret untuk menyesuaikan diri dengan pola lama — mengabdi pada yang berkuasa, bukan pada rakyat.

Zoran menunjukkan bahwa politik bukan hanya tentang menang dan kalah, tapi tentang siapa yang berani membawa ide baru.

Ia membuktikan bahwa menjadi sosialis, imigran, dan Muslim bukanlah kelemahan, tapi kekuatan moral untuk menegakkan keadilan.

Mungkin ini terlalu jauh, bahkan ada yang bilang ini naif. Tapi apa pun itu, setiap kenyataan di dunia patut menjadi contoh, patut menjadi inspirasi.

Dan inilah Zoran — sosok muda yang paradoks itu: imigran, sosialis, Muslim, dan kini pemimpin di jantung dunia Barat.

Mungkin kelak, dari kampung-kampung di Banggai, akan lahir anak muda seperti Zoran: yang tak takut disebut gila hanya karena berbicara tentang keadilan, yang berani menolak tunduk pada kekuasaan, dan yang percaya bahwa politik adalah ruang untuk mengembalikan martabat manusia. *

Penulis adalah petani pisang, yang kadang jadi advokat

Update artikel kami di Google News dan WhatsApp Channel