Refleksi HUT Kemerdekaan RI ke 76
Oleh Farhat Abbas
DEMIKIAN zig-zag manuvernya. Too easy melanggar aturannya sendiri. Suka-suka menyampaikan keinginan kenegaraan tanpa proses legislasi yang konstitusional. Itulah catatan gamblang yang dapat kita cermati dari sosok kepemimpinan Jokowi selaku Presiden RI ke tujuh ini. Yang perlu kita catat lebih jauh, serangkaian perilaku kekuasaannya berdampak bagi kehidupan berbangsa-bernegara, dalam kaitan sistem ketatanegaraan, situasi sosial-ekonomi, bahkan politik yang jauh dari potret keteladanan.
Manuver Jokowi yang terkategori zig zag – di antaranya, pertama – dapat kita cermati pada gagasan pemindahan ibukota negara. Tanpa melalui mekanisme politik di parlemen, bahkan tanpa diawali studi kelayakan jauh sebelumnya, tiba-tiba – dalam pidato kenegaraan pada Jum`at, 16 Agustus 2019 – Jokowi menyampaikan wacana pemindahan ibukota negara.
Memang, Jokowi bukanlah yang pertama yang mewacanakan pemindahan ibukota negara. Sejak Presiden Soekarno, wacana itu sudah terlontar. Dan wacana itu timbul-tenggelam. Namun demikian, ada kondisi historis yang sulit terjadi titik temu ketika ibukota negara dipindahkan dari Jakarta. Satu fakta historis adalah pekik kemerdekaan dikumandangkan secara resmi dari Jakarta. Naskah Proklamasi, juga ditandatangani dan dibacakan di Jakarta. Jadi, ketika dipaksakan pindah karena pertimbangan-pertimbangan futuristik, hal ini terkategori tidak menghormati nilai-nilai sejarah. Sementara, sosok anak bangsa, termasuk pemimpinnya, akan terkategori sebagai bangsa dan pemimpin besar jika mau, mampu dan terus menghargai sejarah. Tentu, karena ada makna konstruktif di balik nilai sejarah itu.
Sekali lagi, meski wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta bukanlah baru, tapi wacana yang disampaikan Jokowi yang bersifat tiba-tiba, tanpa persiapan jauh sebelumnya, tanpa dikomunikasikan dengan mitranya (seluruh anggota dan pimpinan MPR RI) merupakan wacana yang tidak santun, tidak menghormati mitra kerjanya, bahkan – secara ekstrim –bisa dikatakan melecehkan.
Yang jelas, wacana pemindahan ibukota itu tak muncul dalam visi-misi saat dirinya siap berlaga dalam kontestasi pemilihan presiden-wakil presiden pada 2014. Kita tahu, visi-misi kandidat – setelah berhasil “manggung” menjadi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menangah (RPJPM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang kemudian dilegalisasi menjadi UU dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN). Ketiadaan wacana pemindahan ibukota negara dalam visi-misi dan atau RPJPM-RPJPN menjadikan wacana itu terkategori “liar” bahkan ilegal dan karenanya bisa dinilai nkonstitusioal.
Bagaimanapun kedudukan hukum dan politik wacana pemindahan ibukota itu? Yang jelas wacana itu telah merepotkan jajaran di bawahnya di kabinet, serta DPR-DPD RI, karena dipaksa harus merumuskan landasan yuridis untuk melegalisasi keinginan itu. Menjadi persoalan dari sisi UU Keuangan Negara, karena saat berupaya merealisasikan wacana itu tak lepas dari politik anggaran.
Boleh jadi, aspek keuangan tidak dipikirkan, karena sumber andalannya – dari awal sudah disett up dukungan finansialnya dari para mitra (bohir) swasta. Anggaran pembangunan sarana dan prasaran ibukota, termasuk perumahan untuk para pegawainya yang ditaksasi sekitar Rp 600 trilyun, nilainya dipandang kecil bagi konsorsium para bohir, apalagi terdapat sinyalemen dukungan dari etnis dan negara lain (negeri Tirai Bambu). Kita tidak anti etnis China atau bangsa lain. Tapi, ketika melibatkan unsur asing, akan berkonsekuensi serius.
Keterlibatan asing dalam derap pembangunan ibukota negara berpotensi menguasai ibukota dalam penataan desain wilayah dan peruntukannya dengan segenap perangkat teknologi jebakan yang sarat dengan potensi spying. Hal ini tentu menjadi problem keamanan negara ke depan. Intensitas komunikasi pembangunan fisikal itu juga berpotensi “menguasai” sosok sang presiden dan jajarannya. Ini berarti ibukota baru ada dalam genggaman asing. Dan hal ini menjadi persoalan serius bagi keberadaan suatu negara dan bangsa. Kita perlu mencatat, secara politik, penguasaan ibukota negara dapat diartikan sebagai penguasaan seluruh negeri, karena posisi ibukota sebagai pusat pemerintahan. Inilah rangkaian konsekuensi hukum dan politik yang luput dari sorotan dan analisis publik. Karena itu, kita harus tersadar bahwa persoalan wacana itu bukan sekedar pemindahan ibukota negara, tapi proses menuju neokolonialisasi negeri kita tercinta.
Kedua, manuver zig zagnya dapat kita cermati pada perubahan rotasi kekuasaan (pemilihan kepala daerah): secara serentak dilakukan pada tahun 2024, bersamaan tahunnya dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota legislatif. Yang perlu kita soroti, kemauan Presiden itu berdampak pada pengubahan UU Pemilu, sehingga hal ini menimbulkan pekerjaan baru bagi para politisi di Senayan. Agenda ini pun menggerakan gesekan politik tersendiri antara pro-kontra dan itu berujung pada penilaian loyal dan tidaknya pada masalah koalisi. Sepertinya agenda revisi UU Pemilu dijadikan barometer tentang keutuhan dan pudarnya koalisi, lalu dijadikan pertimbangan untuk direshuffle atau dipertahankan dalam kabinetnya. Bahkan, melalui angenda revisi UU Pemilu itu dijadikan pintu masuk bagi partai oposan untuk mengubah haluan politiknya: merapat ke kekuasaan, sehingga posisi pemerintah kian powerful.
Di luar implikasi politik internal parlemen, zig zag terkait dengan rotasi kekuasaan berdampak pada posisi kekuasaan kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) yang terpaksa “nganggur” setelah habis masa jabatannya pada 2022. Selama dua tahun (2023 dan 2024), jabatan kepala daerah diisi oleh Pejabat Palaksana Tugas (Plt).
Yang perlu kita catat, Plt – secara UU Administasi Pemerintahan – tak punya kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan strategis. Dengan rentang waktu sekitar dua tahun lamanya, ketiadaan kewenangan itu – di satu sisi – berdampak destruktif bagi kepentingan daerah. Secara langsung atau tidak, ada pemasungan hak daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Di sisi lain, Plt harus tunduk pada kemauan pimpinan tertinggi, atau hanya menjadi pemeran stand in. Hal ini membayangkan sejumlah skenario picik yang murni memenuhi kepentingan sang pemimpin tertinggi itu. Maka, zig zag kedua ini menggambarkan cara atau strategi untuk merekadaya bangsa dan negeri ini berada dalam genggamannya. Sungguh digdaya cengkeraman terhadap Plt itu. Anak bangsa pun kembali tak bisa menikmati kemerdekaan politiknya.
Discussion about this post