Oleh: Farhat Abbas
TUJUH partai politik (parpol) koalisi sudah dikumpulkan oleh Presiden. Arah lobinya jelas: amandemen. Publik meraba, amandemen yang mana? Terkait haluan negara (HN) dan hanya itu, atau akan melebar? Jika melebar, maka, amandemen terkait HN hanyalah pintu masuk untuk menggapai target politik yang jauh lebih ditarget, yakni mengamandemen Pasal 7 UUD NRI tentang masa jabatan presiden-wakil presiden. Agar masa jabatan presiden-wakil presiden menjadi tiga periode.
Muncul renungan mendasar, jika memang arahnya ke HN, apakah harus mengundang ketujuh parpol itu? Sementara, sejauh ini Jokowi hanya menyampaikan apresiasi terhadap keinginan atau upaya menghadirkan rumusan HN, tidak sampai ke level sikap (perintah untuk serius menindaklanjuti). Body language Jokowi semakin cenderung menyatakan “tidak” jika konsekuensi perumusan HN berkonsekuensi pada penataan lembaga negara (MPR) untuk dikembalikan posisinya seperti sebelum amandemen ketiga. Bahkan, kian tidak berminat, jika konsepsi HN harus disertai pertanggungjawaban presiden terkait kinerjanya, sehingga posisi presiden terancam: impeachment jika tidak confirm kinerjanya seperti yang terjadi pada Soekarno dan Gus Dur.
Karena itu, pemanggilan atau mengumpulkan ketujuh parpol tersebut dapat dibaca dengan jelas: agenda terselubung di luar persoalan HN. Menurut bocoran yang terpublikasi luas, pengumpulan ketujuh parpol itu lebih terkait agenda utama perpanjangan masa jabatan presiden: menambah satu periode lagi, bukan hanya dua periode sesuai Pasal 7 UUD NRI 1945 pasca amandemen pertama. Sebuah renungan, pastikah pengumpulan ketujuh partai koalisi itu (PDIP, Golkar, PPP, PKB, Gerindra, Nasdem dan PAN yang baru merapat ke kekausaan) akan memenuhi kepentingan pragmatis sang presiden?
Untuk menjawabnya, kita perlu menengok jumlah kursi ketujuh parpol itu di MPR. Ketujuh parpol tersebut berjumlah 471 kursi. Dengan mengacu Pasal 37 UUD NRI 1945 sebagai syarat sah mengajukan amandemen, minimal 1/3 dari 711 anggota MPR (575 anggota DPR RI dan 136 anggota DPD RI) atau sama dengan 237 anggota yang menyetujui usulan, maka praktis sudah terpegang kartu persetujuan pengusulan itu. Tinggal “melegalisasi” usulan perubahan itu.
Selanjutnya, usulan itu bisa tercapai persetujuan amandemen jika 2/3 anggota MPR (474 anggota) menyetujuinya. Dengan “mengantongi” suara koalisi tersebut, maka pratis tinggal mencari suara tambahan: 3 suara. Yang dibidik tentu dari DPD RI. Kita dapat membaca dengan jernih, sangatlah mungkin untuk mendapatkan suara tambahan dari unsur DPD. Dengan kata lain, sangatlah tidak mungkin untuk mengunci suara DPD agar konsisten dan berseberangan dengan keinginan Presiden.
Discussion about this post