Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
“….. KAMI tidak perlu khawatir, bila anak-anak kami tidak bisa matematika dan IPA. Tetapi kami sangat khawatir bila anak-anak kami tidak patuh pada kedua orang tuanya. Tidak sayang pada Ibunya, tidak sabar dan tidak biasa mengantri ….” Hanya butuh waktu 3 bulan untuk bisa pandai matematika dan IPA, tetapi butuh puluhan tahun untuk bisa sabar dan patuh pada kedua orang tuanya……”
Rakyat Indonesia bersyukur, karena beberapa saat yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Sistem Pemilu di Indonesia pada 2024 dan seterusnya adalah proporsional Terbuka.
Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka keputusan MK ini telah mengikat seluruh rakyat dan pemangku kepentingan di Repubik tercinta ini.
Kita tengah memasuki sebuaah era dimana gelar tidak menjamin kompetensi dan kualitas. Kelulusan tidak menjamin karya dan bekerja. Akreditasi tidak menjamin mutu atau kualitas. Masuk kelas tidak menjamin siswa-siswa belajar.
Sebuah fakta dan kenyataan saat ini di dunia pendidikan kita sebagai contoh dimana sebagian besar orang-orang tua kita dan juga sebagian besar tenaga pengajar kita mengkhatirkan anak-anak tidak bisa matematika. Tidak bisa Fisika. Tidak bisa Kimia. Tidak bisa Biologi. Tidak bisa Bahasa Indonesia. Tidak bisa bahasa Inggris dan seterusnya.
Sebuah pemandangan kekhawatiran publik yang keliru dari pertimbangan moral dan akal sehat.
Tingkatan kekhawatiran itu pun meningkat tajam bila memasuki jenjang Perguruan tinggi, dimana kekhawatiran tidak bisa diterima di Akpol, kekhawatiran tidak bisa diterima di AKMIL, IPDN, UI, ITB, Unpad dan seterusnya.
Cukup lama kekhawatiran orang-orang tua terhadap anak-anaknya, sehingga tidak sedikit orang-orang tua yang menderita stress hingga stroke karena kekhawatiran ini.
Kekhawatiran tertinggi bagi sebagian besar rakyat Indonesia, karena sebuah gelar sarjana bahkan gelar pasca sarjana tidak menjamin kualitas dan kompetensi.
Kulitas dan kompetensi tidak ditentukan oleh gelar seseorang, tetapi sangat sulit bagi seseorang pada saat ini bila untuk menjadi PNS, mencapai jabatan-pimpinan di suatu lembaga bila tidak memiliki gelar, sekalipun hanya S1 atau S2.
Gelar masih menjadi kebutuhan seseorang saat ini dan kedepan, sekalipun gelar itu tidak menjamin kompetensi dan kualitas.
Kompetensi dan kualitas dapat dibeli dan diperoleh dalam waktu yang sangat cepat. Kekhawatiran publik pun muncul karena kelulusan tidak menjamin dapat berkarya dan bekerja.
Kegembiraan lulus sarjana atau pasca sarjana hanya kegembiraan sehari, karena seteah itu ada tuntutan untuk dapat berkarya dan bekerja di profesinya masing-masing.
Berkarya dan bekerja merupakan ouput dari sebuah pendidikan dan pengalaman, sekalipun banyak kita temukan orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan tinggi dapat memerintah anak buah dan stafnya yang pendidikan S1, S2 bahkan S3.
Berbanding lurus dengan itu yang berpendidikan tinggi dan bergelar Prof doktor bisa diperintah oleh tamatan SMA atau hanya S1 yang menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota.
Konflik di dunia pendidikan tidak berhenti pada pelayanan pendidikan yang mahal, karena tanpa biaya yang cukup anak-anak kita hanya mendapatkan Ilmu dan keterampilan dengan kualitas rendah.
Sementara kalangan dhuafa dapat memperoleh Ilmu dan keterampilan tingkat tinggi karena mereka memiliki sumber daya yang cukup untuk membeli kompetensi dan kualitas itu.
Jangan bermimpi saat ini, mendapatkan kualitas dan kompetensi secara gratis, karena semua nya itu harus diperoleh dengan dollar dan rupiah yang tinggi.
Bersambung ke halaman sebelah
Discussion about this post