Oleh: Muhadam Labolo
ADA tunggakan kurang lebih 329 usulan pemekaran daerah otonom baru di Kemendagri (Rep, 2023). Itu di jalur eksekutif, belum di jalur legislatif. Tumpukan proposal itu terhalang oleh tembok besar moratorium. Sejak SBY hingga Jokowi, pemerintah hanya meloloskan 4 DOB setingkat provinsi dengan alasan afirmatif di Papua. Tapi sampai kapan tembok sementara itu bisa bertahan, apalagi mendekati pemilu.
Mendekati pesta demokrasi, isu pemekaran menguap kembali. Pemekaran menjadi topik seksi oleh politisi dengan resiko Penuh Harapan Palsu (PHP). Optimisme di sebar dengan harapan tercipta transaksi kolektif dalam imaji publik, lahir Daerah Otonom Baru (DOB) pasca pemilu. Soalan kita bagaimana mengendalikan nafsu pemekaran itu di hari-hari mendatang.
Pemekaran memang bukan ekspresi berlebihan. Halal dan boleh diusulkan. Bila pintu masuk terbuka lebar pada dua jalur di atas, maka instrumen kebijakan pun terbuka di hulu dan hilir. Di hulu, kebijakan membuka peluang sekalipun di hilir dipersempit agar tak melaju. Namun begitu PP 78 tahun 2007 masih terlalu mudah dimanipulasi pengusul lewat utak-atik kuantifikasi.
Menata gairah pemekaran kali ini memang dilematis. Politisi ingin menangkap alasan pemerintah mengendalikan pemekaran lewat desain besar penataan daerah (Desertada). Disitu masalahnya, pemerintah dibolehkan mengetatkan, tapi disisi lain legislatif butuh celah buat alat tukar dalam pemilu. Realitas transaksional semacam itu membuat instrumen di hilir tak berdaya. Muncullah DOB tak memenuhi kriteria.
Kegagalan utama DOB ada pada celah fiskal yang menganga lebar. Bila tujuan dibentuknya DOB agar mandiri, faktanya berkebalikan dengan terciptanya ketergantungan tinggi. Realitas itu memunculkan simpul bahwa bukan daerah otonom (DO) yang terbentuk tapi daerah administrasi (DA). Bukankah ciri DA menyusui sepanjang hidup dibanding DO yang bertumpu sebagian besar pada PADnya. Maknanya, yang ada hanya DA bukan DO.
Ketergantungan ke pusat memang bukan sepenuhnya kegagalan DO. Malangnya sumber vitalnya di tarik paksa lewat UU Cipta Kerja dan Minerba. Segala yang halal di gali, kini jadi haram di sentuh. DO jadi kurus, dan menjadi pengemis seperti kasus kegagalan desentralisasi di era UU 22/1948. UU 23/2014 praktis mandul. Tambah lagi dengan alasan jeda pemilu, para pejabat di daerah otonom di tunjuk seperti daerah administratif.
Implikasi lain tekanan APBN meningkat tajam. Kue 3000 triliun seharusnya cukup dibagi pada 38 provinsi dan 514 kab/kota, mesti dibagi lagi dengan asumsi jumlah provinsi menjadi 50, dan kab/kota menjadi 600. Pemerintah tentu berpikir keras, meminjam atau bertumpu pada sumber daya alam. Resiko pertama menyimpan hutang bagi anak cucu, sisanya menarik kembali sumber daya di daerah secara sentralistik.
Kegagalan terakhir terkait eksploitasi lingkungan yang maha luas. Untuk kepentingan itu sebuah daerah otonom terkadang harus berjuang meluaskan wilayahnya di samping hutan lindung. Tanpa itu mereka mati, sebab luas daratan hidupnya lebih kecil dibanding luas hutan penopang flora dan fauna langka. Dilemanya kelaparan di tengah lumbung yang penuh harap kesuburan.
Tentu saja nafsu pemekaran layak di timbang kembali. Caranya, kabupaten, kota dan provinsi harus punya roadmap yang berisi jumlah desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota dan provinsi yang akan dimekarkan. Hasilnya di kunci pada RPJP dalam rentang 20 tahun. Artinya, tak ada pemekaran dalam jangka panjang kecuali termuat dalam dokumen tersebut.
Daerah hasil pemekaran juga butuh waktu selama 5-10 tahun untuk menjadi daerah otonom. Dalam masa itu statusnya daerah administratif semata, alias daerah persiapan. Dalam 20 tahun kemudian, perlu dilakukan evaluasi dengan menetapkan DOB yang menjadi langganan pasien daerah tertinggal selama sekian kali tidak diperkenankan melakukan pemekaran, atau cukup menjadi daerah administratif dalam cakupan daerah tertentu yang diperlakukan khusus maupun strategis nasional. *
Discussion about this post