Oleh: Muhadam Labolo
Tensi aparat versus kekuatan-kekuatan sosial meningkat. Suhunya bisa diraba lewat media sosial. Dinamika pro & kontra tampak sulit reda. Jalan keluarnya seperti tertutup oleh banyak teka-teki, mulai isu Baliho hingga letupan di jalan tol. Aparat kokoh dengan sikapnya, semua kekuatan yang cenderung mendominasi ruang publik, tak patuh hukum, serta sumber pertikaian disangka musuh negara. Sekalipun penegakan hukum di benak publik terkesan memilih bambu besar, tapi efek psikologis mungkin agar ketakutan dengan sendirinya merayap lewat pori-pori ke jantung hingga ekspresi liar yang membahayakan eksistensi negara reda.
Kekuatan-kekuatan sosial tak tinggal diam. Sinyal protes di desain dan dikirim lewat meme, diksi bernada sinisme, bahkan metafora lucu yang tak habis di produk saban hari. Perang opini dan argumentasi memadati lalu lintas media baik jaringan pribadi maupun kelompok. Perang senyap terjadi sedemikian alot, walau di alam realitas yang tampak hanya karangan bunga bersandar di sejumlah tempat. Rupanya ketegangan ditonton para pemilik modal. Mereka wasit sekaligus pendukung. Ibarat adu ayam, para supporter cukup berteriak menyemangati, sekaligus menyiapkan logistik yang dibutuhkan siang dan malam.
Dinamika hari-hari ini bukan pertama kali terjadi. Dalam sejarah orde lama kepemimpinan formal pernah memenjarakan pemimpin spiritual Buya Hamka. Orde baru tak tak luput, AM Fatwa pernah mendekam dalam penderitaan. Gesekan antara tokoh formal dan non formal seringkali tak dapat dihindarkan. Pemimpin kharismatik sekelas Nelson Mandela di Afrika Selatan pernah di penjara dan dikencingi sipir. Namun seperti Buya Hamka, Mandela tak membalas. Yang ada justru sebaliknya, air tuba dibalas dengan air susu. Disisa hidup mereka, kecantikan budi pekertilah yang muncul ketika berhadapan dengan orang-orang yang pernah melakukan tindakan sewenang-wenang.
Sejarah selalu berulang, mereka yang pernah disakiti suatu saat akan datang bak pemimpin yang tidak saja mendamaikan, juga menginspirasi anak bangsa. Bukankah sejumlah pemimpin pasca orde reformasi tercipta karena efek elastisitas bola karet yang dibanting hingga melenting kepermukaan. Gus Dur, Megawati, dan SBY contohnya. Mereka bergantian menjadi pemimpin di negeri ini. Kita sejogjanya belajar dari sejarah, bukan sekedar belajar sejarah. Sedemikian pentingnya sejarah hingga Soekarno pernah berkata, jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebab itu mungkin salah satu stasiun TV pernah membuat acara dengan topik populer, menolak lupa.
Discussion about this post