Luwuk Times, Jakarta — Penjajahan Pendudukan Israel di tanah Palestina selain mengorbankan nyawa mereka yang tak berdosa, konflik berkepanjangan tak berkesudahan mengorbankan ribuan anak. Saat ini, hampir 1 dari 3 anak yang tinggal di luar negara kelahiran mereka adalah pengungsi anak.
Demikian laporan situasi konflik kemanusiaan Palestia hasil investigasi yang diterbitkan Rumah Zakat Indonesia, Selasa, tanggal 24 Oktober 2023 yang diterima Redaksi Luwuk Times.
Jumlah anak yang dipindahkan secara paksa berjumlah 33 juta. Sebanyak 1,5 juta anak pencari suaka, 12,6 juta pengungsi anak, 19,4 juta anak terlantai negara mereka sendiri buntut kekerasan dan konflik.
Jumlah tersebut diungkap Rumah Zakat Indonesia berdasarkan rilis yang diterbitkan UNICEF melalui laman websiter www.unicef.org.
UNICEF juga mencatat, 232 orang penduduk di Jalur Gaza meregang nyawa dalam peperangan antara Israel dan kelompok milisi Palestina yang berlangsung selama 11 hari. Dari jumlah itu, 28 persen di antaranya adalah anak-anak atau sekitar 65 anak.
Konflik mempengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan anak-anak dengan cara yang berbeda dan tumpang tindik.
Lalu, sebenarnya hal apa yang ditakutkan anak-anak ketika terjadi konflik?
Rumah Zakat Indonesia mengulasnya. Yakni, pertama, kekerasan menghantui kehidupan anak-anak. Sebanyak 78 persen anak-anak Gaza takut terjadap pengeboman dan suara pesawat.
Kedua, kurangnya akses layanan dasar yang berkepanjangan. Sebanyak 64 persen pengasuh di Afghanistan menyatakan bahwa anak-anak merasa paling takut dalam perjalanan ke sekolah, karena melewati pos militer.
Ketiga, terjadi peningkatan risiko kekerasan di rumah, sekolah dan teman sebaya.
Keempat, ketidakamanan, ketidakpasian dan ketakutan terhadap masa depan.
Kelima, gangguan dan perpisahan pada orang terdekat.
Sebanyak 71 pengasuh di Jalur Gaza menyatakan bahwa mereka tidak bahagia, dan 80 persen menyatakan bahwa mereka merasa tidak mampu mengatasi kesulitan mereka.
Saat terjadi konflik, anak-anak merasakan berbagai hal. Sejak tahun 2010, terjadi peningkatan sebesar 174 persen kasus pelanggaran berat terjadi pada anak-anak (pembunuhan dan melukai, perekrutan angkatan bersenjata dan kekerasan seksual).
Tahun 2014, satu dari 4 anak remaja Palestina yang tinggal di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza mencoba melakukan bunuh diri.
Tahun 2018, sebesar 95 persen anak-anak di Gaza melaporkan perasaan depresi, hiperaktif, agresi, dan lebih suka menyendiri.
Tahun 2019, sebanyak 24 juta anak hidup dalam konflik mengalami high tingkat stress dan memiliki mental ringan sampai sedang gangguan kesehatan yang membutuhkan dukungan.
Padahal, anak adalah aset masa depan negara, bangsa dan masyarakat. Artinya, merusak kehidupan anak itu sama dengan merusak kehidupan negara, bangsa dan masyarakat.
Konvensi Hak Anak yang tertuang dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa “Hak-hak anak berlaku atas semua anak tanpa terkecuali.
Anak harus dilindungi dari segala jenis diskriminasi terhadap dirinya atau diskriminasi yang diakibatkan oleh keyakinan atau tindakan orang tua atau anggota keluarganya yang lain” demikian bunyi pasal tersebut.
Antara tahun 2005 dan 2019, jumlah pengungsi anak secara global di bawah mandat UNHCR meningkat lebih dari dua kali lipat dari 4 juta menjadi sekitar 10 juta.
Dalam kurun waktu antara 2010 dan 2019 saja, jumlah pengungsi anak-anak ini melonjak hingga 118 persen. *
Discussion about this post