Oleh: Dr. Syarif Makmur, M.Si
DALAM panggung kekuasaan, realitas tak selalu tampil apa adanya. Ketika publik menuntut transparansi terhadap berbagai kasus besar—seperti desakan untuk mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset, penuntasan kasus-kasus mega korupsi, atau reformasi lembaga penegak hukum—sebuah narasi lain justru mencuat dan mendominasi ruang publik: wacana pelibatan TNI untuk menjaga Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Alih-alih menjawab tuntutan terhadap akuntabilitas dan penegakan hukum yang berkeadilan, perhatian publik seolah digiring ke topik baru yang sensasional namun menjauh dari akar masalah.
Ini bukan hal baru. Fenomena semacam ini adalah bagian dari strategi klasik dalam dunia kekuasaan yang disebut sebagai pengalihan isu.
Di era Soekarno, Soeharto bahkan di era Joko Widodo, praktek pengalihan isu-isu strategis dengan cerdas di praktikan sehingga dapat mengelabui publik.
Contoh di depan mata, kasus pagar laut yang begitu heboh terus tenggelam setelah satu tersangka seorang Kepala Desa di publikasikan.
Demikian pula kasus Pertamina, PT Timah dan lainnya tenggelam begitu saja di alihkan dengan kasus Hercules dan perselingkuhan Rdwan Kamil.
Adalah hal yang wajar, di tengah Negara dan pemerintah RI sedang menghadapi situasi perang dingin atau perang dagang antara China dan AS yang dampaknya sangat signifikan terhadap demokrasi di Indonesia, konflik komunitas dan masalah politik setelah Pilpres dan Pilkada serta masalah ekonomi lainnya.
Pengalihan isu (issue diversion) adalah taktik komunikasi politik yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu masalah utama yang berpotensi merugikan atau memperlemah posisi penguasa, menuju isu lain yang lebih aman atau bahkan menguntungkan secara politik.
Taktik ini sering digunakan ketika suatu rezim atau elite kekuasaan tengah menghadapi krisis legitimasi, sorotan tajam terhadap kebijakan, atau tuntutan publik yang meningkat.
Bentuknya bisa beragam: mulai dari mengangkat narasi nasionalisme, memainkan isu keamanan, memunculkan kontroversi elite, hingga merancang insiden simbolik yang viral secara sengaja.
Wacana mengenai TNI menjaga kejaksaan, misalnya, muncul di tengah sorotan terhadap lemahnya penindakan hukum terhadap korupsi kelas kakap, lambannya pembahasan RUU Perampasan Aset, dan munculnya kembali kecurigaan publik terhadap politisasi lembaga penegak hukum.
Dalam logika pengalihan isu, wacana baru ini mengandung tiga fungsi strategis: pertama, ia mengganti fokus media dan perbincangan publik; kedua, ia menciptakan perdebatan baru yang membelah opini publik; dan ketiga, ia menyelimuti atau bahkan mengubur isu utama di balik kabut kebisingan.
Strategi ini bukan monopoli satu pemerintahan. Dalam sejarah politik Indonesia, pengalihan isu pernah terjadi ketika krisis multidimensi pada akhir Orde Baru dialihkan melalui kampanye stabilitas nasional; atau ketika isu pelemahan KPK pada masa lalu dibayangi oleh wacana radikalisme.
Bahkan di tingkat global, rezim-rezim otoriter maupun demokratis kerap menggunakan strategi serupa untuk bertahan menghadapi badai opini dan tekanan politik.
Namun strategi ini bukan tanpa risiko. Pengalihan isu yang terus-menerus akan menciptakan kondisi politik yang dangkal dan disfungsional. Masyarakat diarahkan untuk memperdebatkan simbol dan retorika, alih-alih substansi kebijakan.
Ruang publik menjadi gaduh namun miskin konten, sementara masalah-masalah utama dibiarkan membusuk tanpa solusi. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini akan mengikis kepercayaan terhadap institusi negara dan memperlemah kualitas demokrasi.
Yang lebih mengkhawatirkan, pengalihan isu yang melibatkan aparat negara seperti TNI dalam fungsi non-militer, apalagi dalam urusan peradilan sipil, berpotensi mengaburkan batas sipil-militer yang dijaga dalam negara demokratis.
Ini bukan sekadar pengalihan isu biasa, tapi bisa menjadi pintu masuk bagi praktik-praktik penyimpangan konstitusional yang lebih dalam.
Sebagai warga negara, penting bagi kita untuk tetap waspada dan tidak mudah tergiring pada permainan narasi. Literasi politik dan keberanian untuk mempertanyakan agenda-agenda tersembunyi di balik isu-isu populer harus terus diperkuat.
Media massa dan masyarakat sipil juga perlu lebih cermat dalam memilah mana isu yang esensial dan mana yang artifisial. Hanya dengan kesadaran kolektif seperti itulah kita dapat menahan laju normalisasi praktik pengalihan isu sebagai bagian dari gaya lama kekuasaan.
Kerjasama Kejaksaan dan TNI sangat dibutuhkan saat ini, disaat korps baju coklat itu sedang menghadapi tekanan berat dari para koruptor yang sedang diusutnya.
Begitu sulitnya Kejaksaan berharap pada Polisi untuk membackup rencana aksinya, karena Polri pun sedang menghadapi masalah yang sama, sehingga pilihan nya adalah meminta bantuan TNI khususnya TNI AD. Bagi TNI, ini adalah bentuk pengabdian dalam membela negara atau menjaga keamanan negara.
Toh, perang yang selama ini diasumsikan sebagai perang fisik melawan musuh dari luar, tetapi saat ini Perang terbesar adalah memerangi diri sendiri atau perang melawan negeri nya sendiri berupa korupsi, kemiskinan, kelaparan, premanisme dan lain-lain.
Sebagaimana Nabi SAW pernah mengatakan bahwa Perang terbesar adalah Perang melawan hawa nafsu, dapat ditafsirkan bahwa perang melawan hawa nafsu pribadi lah yang menjadi perang terbesar yang maknanya adalah perang melawan saudara-saudara sendiri, teman-teman sendiri, kerabat-kerabat sendiri jauh lebih berat dari pada melawan orang lain yang tak dikenal.
Soekarno pernah memerangi Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, dan lainnya. Soeharto pun pernah memerangi DN Aidit, untung, oemar Dhani dan lainnya.
Semua lawan-lawan itu di siasati dengan pengalihan isu. Publik tak perlu cemas dan galau dengan TNI masuk kejaksaan, TNI masuk desa untuk bertani, bahkan TNI memimpin jabatan sipil karena cara berpikir linear sudah tak laku lagi. Di era kecerdasan mesin (AI) saat ini semua peluang-peluang itu akan mudah terjadi yang tujuan nya gr negara dan pemerintahan ini berjalan dengan efektif.
Ini Perintah Prabowo?
Pertanyaan yang sangat provokatif, apakah tindakan Panglima TNI ini diketahui dan disetujui Prabowo? Jawaban nya ya, semua ini sepengetahuan Prabowo.
Adalah tidak mungkin radiogram Panglima TNI kepada para Pangdam, Dandim hingga Danramil tanpa sepengetahuannya. Jika dikaji dan di analisis secara mendalam, tujuan utama dari pengamanan TNI kepada Kejaksaan adalah sangat strategis yang publik belum mengetahuinya.
Mungkin saja, Presiden Prabowo memiliki agenda besar yang memerlukan strategi besar, yang orang-orang berpikir linear tidak dapat menjangkaunya. Banyak strategi besar Prabowo, yang para menteri dan orang-orang terdekatnya tidak mengerti bahkan banyak yang bingung.
Seperti Prabowo memuji-muji Joko Widodo, tetapi di sisi yang lain banyak kemauan Jokowi yang tak di gubris Prabowo. Sebagai contoh, pada saat Halal Bi Halal Purnawirawan TNI, Jend (Purn) Try Sutrisno tidak di undang karena Pak Try merupakan salah satu jend (Purn) yang mengusulkan Gibran di copot.
Kenyataaan nya, Try Sutrisno di Undang bahkan duduk bersebelahan dengan Prabowo bahkan Prabowo memberi hormat sebelum memberikan Pidato.
Termasuk pencopoton Letjen TNI Kunto Arif (Putra Try Sutrisno) dari jabatan Pangkowilgab batal dilakukan karena tidak disetujui Presiden Prabowo.
Banyak sekali hal-hal atau sikap, pemikiran serta prilaku pemerintahan presiden prabowo yang unik dan sulit diterima akal sehat, kita tinggal menunggu waktunya karena janji prabowo bahwa rakyat akan melihat beberapa waktu kedepan apa yang akan terjadi.
Yang jelas dalam kurun waktu 6 (enam) bulan memimpin sudah 29 (dua puluh Sembilan) kebijakan strategis yang dilakukan Prabowo. The Best. *
Discussion about this post