Oleh: Muhadam Labolo
Tiga catatan kritis atas kesehatan demokrasi kita setidaknya merujuk pada, _pertama,_ laporan _freedom house_ (2020). Kualitas demokrasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir dinilai mengalami transformasi dari negara bebas _(free country)_ menjadi negara bebas sebagian _(partly free country)._
_Kedua,_ menurut _The Economits Intellegent Unit_ (EIU, 2020) demokrasi Indonesia berada di peringkat 64 dengan score 6,48. Secara global demokrasi kita dianggap belum sempurna _(flawed democracy)._ Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bahkan berada dibawah Malaysia dan Philipina, termasuk negara bekas asuhannya, Timor Leste.
Raport _ketiga_ atas keafiatan demokrasi kita mungkin sedikit menaikkan imun. Laporan _The Global State of Democracy_ (2019) menunjukkan kualitas demokrasi Indonesia berada di rentang menengah _(mid-range)_ dan tinggi pada aspek _partisipatory engagement._
Indikasi terakhir setidaknya dapat dikonfirmasi lewat pemilu serentak 2019 dan pemilukada 2020. Angka partisipasi pemilu mencapai 81%, dan pemilukada yang mencapai 76% (KPU, 2021). Persentase itu setidaknya melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 77,5%. Tak kurang Amerika mengapresiasi capaian tersebut lewat Mentri Dalam Negeri.
Pekerjaan utama kita hari ini adalah bagaimana meningkatkan stamina demokrasi agar mampu mencapai konsolidasi sesuai rencana strategis nasional. Meminjam gagasan Dahl (1989) tentang apa yang disebutnya _polyarchy_ (demokrasi), satu dari tujuh variabel yang digunakan sebagai pisau analisis menunjukkan bahwa hak menyalonkan diri _(the right to run for office)_ dikontribusikan oleh dua dimensi utama, yaitu regulasi elektoral dan partai politik.
Seraya menyempurnakan regulasi elektoral, kita menekankan pada sejauhmana peran partai politik terhadap upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia, mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap parpol berada di titik nadir sebesar 6% (LSI, 2019). Ini perlu usaha extra, strategi yang kompleks, serta kesabaran yang panjang di tengah friksi internal yang sedemikian tak sehat.
Sejauh ini persepsi publik terhadap parpol sulit ditolong oleh berbagai perilaku _amoral_ anggotanya, termasuk intrik kekuasaan yang sarat khianat serta minus kenegarawanan. Diluar itu problem strategis berkaitan dengan _candidacy buying_ dan _vote buying._ Kedua faktor tersebut terasa lekat dalam ingatan di setiap moment pemilukada.
Artinya, korupsi politik dan _money politics_ adalah dua penyakit akut bagi integritas elektoral di setiap strategi pemenangan _(electoral winning strategy)._ Semua itu dapat dibuktikan dengan tertangkapnya lebih kurang 300 kepala daerah oleh KPK, terakhir kali Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah.
Konfirmasi diatas memperlihatkan pada kita bahwa parpol sebagai salah satu elemen demokrasi mengidap semacam penyakit kanker stadium akhir. Sementara kita berharap parpol diposisikan sebagai salah satu aktor kunci dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi, dilain pihak parpol nyata-nyata terbelit oleh tekanan oligarkhi, disorientasi idiologi, lemahnya kaderisasi, serta gelapnya sumber daya materil.
Tanpa membangun kepedulian kita pada parpol, ia bukan saja melenyapkan ekspektasi menuju konsolidasi demokrasi, juga menihilkan masa depan kepemimpinan bangsa yang teramat mahal. Membubarkan parpol tentu bukan jalan keluar yang efektif.
Tanpa parpol kita mungkin kembali ke era sistem politik traditional. Siapa sekuat Ken Arok tentu dapat menyingkirkan Tunggul Ametung demi kekuasaan di Singosari. Ini realitas dan kecendrungan yang kita saksikan hari-hari kini. Menyederhanakan parpol tentu ide yang bijak agar sistem presidensial dalam konstitusi semakin presisi.
Problem parpol mesti diselesaikan dengan mendorong demokratisasi berjalan ditubuhnya sendiri. Di luar, fasih bicara demokrasi, di dalam ketat hirarkhi, feodal, sentralistik dan transaksional. Pola rekrutmen parpol perlu dibenahi agar tak terjadi kelangkaan sumber daya yang menyebabkan artis, birokrat sipil/militer serta pengusaha jauh lebih _marketable_ dibanding kadernya sendiri. Keuangan parpol yang minim mesti dicarikan solusi, agar kasus yang memperlihatkan aliran dana tak jelas dapat dihentikan. Sisanya menyempurnakan regulasi yang berpotensi bagi orang sebaik apapun mudah menjadi bulan-bulanan penegak hukum. *
(Penulis Adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post