Oleh: Farhat Abbas
SUDAH dua kali, Indonesia membatalkan keberangkatan jamaah haji: tahun lalu dan sekarang. Benarkah karena alasan covid-19? Jika memang ya, mengapa banyak negara lain mendapat izin Pemerintah Saudi Arabia untuk tetap memberangkatkan calon jamaah hajinya, meski terkurangi quotanya? Pembatalan keberangkatan jamaah haji Indonesia mengundang tanya. Di sinilah muncul sejumlah spekulasi.
Berangkat dari catatan faktual tentang sejumlah negara dapat mengirimkan para calon jamaah haji menjadi dasar sikap publik tidak percaya pada alasan yang disampaikan Pemerintah. Dalam hal ini – minimal – ada dua spekulasi yang berkembang. Pertama, reaksi negatif Pemerintah Saudi Arabia yang menyaksikan proses hukum Habib Riziek Shihab yang jauh dari prinsip keadilan bagi semua. Kedua dan hal ini yang lebih dominan, Pemerintah diperhadapkan krisis biaya untuk memberangkatkan para calon jamaah hajinya (calhaj) sebanyak 221.000 orang sebagaimana kuota yang diberikan. Dengan kuota tersebut, berarti Pemerintah Indonesia harus keluarkan biaya sebesar 221.000 x Rp 44,3 juta = Rp 9,790.3 trilyun.
Sebuah renungan, apakah Pemerintah Indonesia tidak tersedia Rp 9,790.3 trilyun? Sangat tidak makes sense. Dan memang, Menteri Agama sendiri nyatakan bahwa dana haji aman. Makna implisitnya, dana haji sesungguhnya tetap tersedia. Namun, jika diuji lebih jauh, jika memang aman (tersedia), apakah ada jaminan Pemerintah akan mengeluarkan jika di antara calhaj membatalkan diri untuk tidak berangkat? Tak bisa dijamin juga. Pemerintah kemungkinan besar tidak akan mengeluarkannya.
Perlu kita tegaskan ulang, apakah ketidakmauan mengeluarkan dana calhaj hanya karena prosedur, atau memang dana kosong, sudah tersedot ke sektor atau program lain. Publik cenderung menilai, posisi dana calhaj saat ini memang kosong, setidaknya minus secara signifikan. Kecurigaan ini diperkuat pada pernyataan Ketua Badan Keuangan Haji (BPKH) beberapa waktu lalu bahwa dana haji memang terkategori kosong. Dan ketika dikejar informasinya, Wakil Presiden Ma`ruf Amin menegaskan, sekitar Rp 35,7 trilyun dana haji dialokasikan untuk membiayai pembangunan infrastuktur jalan yang dikonversi ke dalam obligasi syariah (sukuk). Meski sangat dipersoalkan secara syariah partisipasi permodalan itu karena tanpa seizin pemilik dana (shaahibul maal), namun pengambilan dana haji itu telah dilakukan. Dan K.H. Ma`ruf Amin – selaku Ketua MUI saat itu – adalah pelaku yang menandatangani pengesahan partisipasi pembiayaan dari dana haji itu.
Kita perlu menelisik lebih jauh, bagaimana reaksi para calhaj atas kegagalan keberangkatannya pada tahun ini yang sebenarnya telah tertunda dua tahun lalu? Menahan kerinduan selama dua tahun bukanlah sebentar. Dengan berpikir apakah pasti bisa menjumpai waktu haji tahun depan, hal ketidakpastian ini bisa menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam. Ketika terjadi kekecewaan yang demikian memuncak, maka tidak tertutup kemungkinan para calhaj bereaksi secara tak terkendali. Melampaui batas, meski tidak anarkis. Andai seluruh calhaj – setidaknya angkatan 2020 dan 2021 – memberontak dengan cara menarik dananya, maka hal itu akan berdampak distruktif bagi sistem perekonomian nasional, bahkan sektor lain: persoalan keamanan.
Memang, total nilai biaya untuk dua angkatan calhaj itu hanyalah Rp 17,569.5 trilyun. Nilai ini sangat tidak signifikan bagi sistem ekonomi nasional yang ber-APBN lebih dari Rp 1.000 trilyun. Namun demikian, yang perlu kita catat lebih jauh adalah jika para calhaj menarik dananya. Titik persoalannya bukan pada nilai rupiahnya, tapi masalah ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara negara, Cq. Kementerian Agama.
Secara teknis perbankan, penarikan dana para calhaj tidak bisa dilakukan. Perbankan – karena pemilik rekening telah berubah menjadi Kemenag – maka seluruh calhaj tak bisa menariknya. Dalam hal ini Kemenag (BPKH) memberi kesempatan para calhaj untuk menarik dananya. Namun demikian, prosesnya cukup birokratis (berbelit). Tidak bisa langsung cair dan ditarik melalui bank tempat penyetor dana hajinya.
Memang, sangat kecil kemungkinannya bagi calhaj untuk mengurungkan niat keberangkatannya, apalagi sudah menanti sekian tahun lamanya dan menilai menjalankan ibadah haji merupakan impiannya. Karena itu, sangat kecil pula kemungkinannya mereka menarik dananya. Sampai tulisan ini dinarasikan, baru sekitar 1.000 calhaj yang mengurungkan niatnya dalam bentuk menarik dananya, meski barus proses administratif. Namun cukup kemungkinan jumlah penariknya, kemungkinan yang sangat kecil itu bisa berubah: menjadi sangat mungkin.
Landasannya – pertama – catatan empirik. Pembatalan keberangkatan calhaj tahun lalu bisa dijadikan landasan sikap. Kedua, ketika pembatalan terkait covid-19 dijadikan alasan, maka seluruh elemen calhaj bisa menerawang apakah ada jaminan covid-19 akan sirna tahun depan. Dengan mencermati “warna” covid-19 bukan wabah alamiah, maka grand design pandemik covid-19 yang saat ini sarat dengan kepentingan bisnis raksasa para kapitalis global, maka tidak tertutup kemungkinan pandemi itu tak akan kurang dari rentang waktu lima bahkan sepuluh tahun ke depan. Jika pemikiran proyektif ini dijadikan landasan pemikiran dan keputusan, maka tidak tertutup kemungkinan calhaj membatalkan diri keberangkatannya. Berarti, mereka bisa ambil sikap tegas: menarik dananya. Dan Kemenag (BPKH) tak berhak sedikitpun untuk menahan kepemilikan dana para calhaj itu.
Discussion about this post