Dari sudut pandang kybernologi, bagaimanakah role play kepemimpinan pemerintahan ketika berhadapan dengan situasi demikian? Saya coba memahami lewat penjelasan Pamudji, Ndraha & Wasistiono dalam kuliah-kuliah kenangan (memorial lecture, 2002). Kepemimpinan pemerintahan adalah praktikal atas teori kepemimpinan yang dioperasikan di ranah pemerintahan. Dua variabel itu bertemu di pundak seseorang ketika memimpin di area pemerintahan. Secara teknis bagaimana memainkan kepemimpinan organisasi dan kepemimpinan sosial dalam satu posisi diberbagai waktu yang berbeda. Kata Ndraha, setiap pemimpin memiliki lebih dari satu peran. Tinggal peran apa dimainkan kapan dan dimana. Kesalahan memainkan peran akan menimbulkan masalah. Bila yang lain adalah pembeli maka kita bertindak sebagai penjual. Andai kita produsen, mereka konsumen. Demikian seterusnya. Peran formalistik biasanya dimainkan berdasarkan norma dan protokol organisasi. Sedangkan peran diluar itu bersifat inisiatif bergantung konteknya (Soekanto,2016).
Menurut Weber (dlm Ritzer, Goerge, Goodman,2008), kepemimpinan organisasi bersifat formalistik. Wewenang diperoleh menurut kontrak rasional, baik diangkat (selection) maupun dipilih (election). Kepemimpinan ini memiliki batasan yang ditentukan secara de jure, baik batasan waktu, ruang maupun lingkup kewenangan. Bila tiba saatnya seseorang dapat diberhentikan menurut sistem yang disepakati. Birokrasi sipil maupun militer dari jenjang terendah sampai jenderal sewaktu-waktu dapat diangkat dan diberhentikan. Kepemimpinan semacam ini dalam dunia sains banyak diteliti lewat pendekatan ilmu administratif, hukum, dan manajemen.
Dalam kepemimpinan sosial wewenang diperoleh menurut tradisi dan kharisma. Pemimpin dipercaya dan ditasbihkan sejak awal sebagai wakil Tuhan dimuka bumi. Memiliki daya tarik kuat sehingga durasi pengakuan de facto nya tak terbatas. Para raja, kepala suku dan tokoh spiritual lazim diangkat hingga mangkat atau mundur karena kesadaran untuk diganti generasi berikutnya. Basis sosialnya percaya mereka mewakili alam atas (macro-cosmos) dan alam bawah (micro-cosmos). Para tokoh masyarakat, agama dan adat adalah contohnya. Masa depannya bergantung pada kepercayaan (trust) dan legitimasi basis sosialnya. Bisa naik, jatuh, bangkit dan menghilang sewaktu-waktu karena seleksi alam (natural selection). Pendekatan sains biasanya menggunakan sosiologi dan politik.
Dalam praktek pemerintahan, setiap pemimpin tak cukup hanya berperan pada satu variabel kepemimpinan. Apalagi dalam organisasi negara yang sedemikian kompleks. Pada konteks tertentu kepemimpinan organisasi dapat dimainkan bersama kepemimpinan sosial. Gus Dur piawai memainkan keduanya. Ketika Soeharto, Habibie, Wiranto, dan Djaja Suparman ditendang dan dipersekusi. Dia datang memdamaikan, melunturkan ego, serta mencari jalan keluar bagi kebuntuan rekonsiliasi. Gus Dur kaya akan role play. Berbagai persoalan intoleransi beragama, klaim adat, isu separatisme, tak selalu Ia selesaikan dengan pendekatan formalistik. Pola kepemimpinan sosialnya Ia tonjolkan walau tak sedikit mendapatkan kritik. Agama, yang selama ini dipandang sakral terkadang diterjemahkan simpel ketika berinteraksi diruang publik yang sarat perbedaan. Ini cara beliau agar agama tak tampak sangar tapi benar-benar berbaur, merangkul dan membumi. Ini sedikit contoh bagaimana kepemimpinan pemerintahan mampu menjembatani ketegangan antara pemerintah dan kekuatan-kekuatan sosial dalam negara. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post