Keikhlasan seorang hamba yang bernama manusia meyakini bahwa Ke-esaan Tuhan itu adalah pasti dan meyakinkan, tidaklah mungkin alam semesta ini dapat diatur oleh 2 (dua) atau 3 (tiga) kekuasaan.
Karena MAHA BESAR nya, sehingga manusia yang berakal (Ulil albab) sangat meyakini bahwa TUHAN itu tidak dapat kita lihat.
Karena bila Tuhan bisa dilihat oleh manusia, sudah pasti itu bukanlah TUHAN karena telah berada di ruang dan waktu.
Nabi secerdas Musa AS, pernah ingin melihat TUHAN nya, tetapi jatuh dan pingsan karena tidak sanggup melihat kebesaran Allah dan kedahsatan ciptaanya.
Keikhlasan manusia karena meyakini bahwa TUHAN itu satu yaitu Allah Swt. Yang kedua, Keikhlasan seorang hamba yang beriman adalah sangat meyakini (Haqqulyakin) bahwa semua ciptaan Allah di seluruh alam semesta ini dan alam jagad raya ini BERGANTUNG pada satu kekuatan, satu kebesaran dan maha tunggal yaitu Allah Swt.
Pemikiran, sikap dan perilaku manusia yang sangat tergantung dengan segala kelemahan ini menunjukkan sebuah proses menuju keikhlasan.
Jika pikiran sudah menyatu dengan hati, dan meyakini bahwa apa yang terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi dalam genggaman Allah Swt maka itulah bentuk keikhlasan yang sebenarnya.
Ikhlas bukanlah kesabaran menunggu dan menanti, bukan pula kesabaran karena terdzalimi dan dihianati tanpa di dasari oleh Ilmu dan keyakinan yang disebutkan diatas.
Pengetahuan dan Ilmu serta akal manusia menjadi dasar utama menuju KEIKHLASAN sebagaimana makna surah Al-ikhlas yang disebutkan dalam alquran.
Keikhlasan yang ketiga adalah jangan sampai ada pikiran dan keyakinan manusia bahwa Tuhan itu memiliki anak dan diperanakan.
Ini lebih berbahaya lagi karena berpikir TUHAN berada dalam ruang dan waktu sehingga sudah bertentangan dengan tesis pertama bahwa TUHAN tidak dapat dilihat.
Keikhlasan keempat adalah jangan sampai manusia mempersamakaan Tuhan dengan yang lainnya, hal ini terkunci dengan ayat terakhir dalam surah Al-Ikhlas bahwa Tidak ada yang sama dengan NYA.
Keikhlasan mengalahkan segala bentuk cita-cita, keinginan bahkan kebutuhan dasar manusia.
Orang-orang yang Ikhlas adalah mereka yang selalu komitmen dan konsisten antara apa yang di ucapkan dan apa yang dilakukan.
Karena mereka yakin bahwa Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang mengucapkan tetapi tidak melaksanakan.
Seseorang yang benar-benar ikhlas akan bersikap sama ketika menerima pujian atau pun celaan. Baginya, apapun yang dilakukan adalah karena untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ikhlas adalah ketika seseorang melakukan amal kebaikan seperti halnya menolong orang lain, namun seseorang tersebut akan lupa dan tidak akan pernah mengingatnya lagi.
Dengan begitu, orang yang ikhlas tidak dengan mudah mengungkit kebaikan yang telah dilakukan sebelumnya.
Seseorang yang melakukan amal ibadah dengan ikhlas akan melupakan amal baik yang telah mereka perbuat. Tidak pernah mengharapkan imbalan atau balasan amal baiknya di dunia ini.
Contoh, saat seseorang melakukan amal dengan cara sodaqoh ataupun infaq yang bertujuan untuk mencari perhatian orang lain. Maka amal perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sikap ikhlas.
Nabi Ibrahim juga merupakan salah satu nabi yang patut kita teladani dalam hal menghadapi keikhlasan.
Seperti yang sudah kita tahu bahwa Nabi Ibrahim juga mendapatkan ujian dari Allah SWT.
Adapun beberapa ujian yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim antara lain membangun Ka’bah, membersihkan Ka’bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail, menghadapi Raja Namrud dan lain-lain.
Seperti yang difirmankan Allah SWT pada Al Quran surat Al Baqarah ayat 124: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna.
Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS 2:124).
Salah satu ujian yang menguji keikhlasan Nabi Ibrahim adalah ujian untuk menyembelih anak yang disayangi nya yaitu Nabi Ismail.
Dengan adanya perintah tersebut Nabi Ibrahim mengikhlaskan dan menjalankan perintah tersebut dengan sebelumnya menanyakan kepada anaknya, yaitu Nabi Ismail.
Discussion about this post