1. Gambaran Fenomena/Permasalahan
Pada bulan awal tahun 2023, terjadi perundungan di salah satu Sekolah Menengah Atas di Jawa Tengah.
Perundungan ini di lakukan oleh delapan orang siswi terhadap seorang siswi kelas 2 SMA yang merupkan adik kelas mereka, sudah berlangsung selama satu tahun lamanya.
Menurut polisi, korban diduga dirundung secara verbal dan non verbal yang berisikan cacian, hinaan, dan beberapa tindakan kekerasan lainnya.
Akibatnya korban mengalami gangguan kesehatan mental hingga harus didampingi psikiater untuk proses penyembuhannya karena trauma untuk ke sekolah.
Bahkan usaha untuk penyembuhan korban justru mendapat intimidasi dari pihak guru di sekolahnya, yang tidak ingin masalahnya dibawa ke ranah hukum karena dapat mencoreng nama baik sekolah.
Bahkan, korban dipaksa untuk mencabut laporannya supaya pihak sekolah tidak terbawa bawa dakam kasus ini.
Ada juga kasus perundungan yang bersifat verbal melalui media sosial, dimana penghujatan atau pembunuhan karakter dari seseorang yang dilakukan oleh kelompok tertentu, hanya untuk menaikan followers dan sebagainya.
Hal inilah yang mendorong pemerintah mengeluarkan UU ITE untuk menekan perundungan melalui sosial media.
Itu hanya salah satu dari sekian banyak kasus perundungan yang terdeteksi oleh publik, bahkan di tenggarai masih banyak lagi kasus yang tidak terekspos dikarenakan korban malu, atau bahkan takut untuk melaporkan.
Perundungan atau bullying sering kali menjadi tren yang mengkhawatirkan, terutama di kalangan generasi muda. Baik di sekolah, lingkungan tempat tinggal, hingga di platform media sosial, perundungan bisa terjadi.
Bullying bukan hanya menimbulkan luka fisik, tapi juga luka psikologis yang mendalam bagi korban.
Tingkat kekerasan dalam fenomena bullying saat ini bisa begitu fatal. Bukan permasalahan sepele yang bisa dianggap remeh.
Seakan-akan ada dorongan ‘kekuasaan’ yang dimiliki oleh pelaku bullying untuk memperlihatkan dominasinya hingga berujung pada kekerasan yang merugikan korban.
Banyak kasus-kasus serupa yang masih terjadi di masyarakat kita yang harus segera ditangani dan dihentikan.
Menurut studi Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan kasus bullying tertinggi di dunia.
Sekitar 41 persen pelajar berusia 15 tahun di Indonesia mengalami kasus bullying dalam satu bulan.
Dari 78 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat kelima dengan jumlah kasus bullying yang paling tinggi di antara murid-muridnya.
Menurut Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, pihaknya telah mencatat minimal 12 kasus bullying sejak Januari hingga Sepetmber 2023 mencapai 23 kasus perundungan hanya satuan pendidikan saja.
2. Konsep Teoritis
Konsep teoritis yang akan saya gunakan dalam menganalisis fenomena di atas adalah konsep teoritis dari Frederich Nietsche mengenai “Kehendak Untuk Berkuasa & Manusia Unggul”.
Konsep ‘kehendak Untuk Berkuasa & Manusia Unggul’, sesuai dengan interpretasi Friedrich Nietzsche, dapat diterjemahkan sebagai dorongan intrinsik yang berperan sebagai dasar bagi tindakan individu dalam berupaya mempengaruhi dan mencapai dominasi atas orang lain, diri sendiri, dan/atau lingkungan sekitar (Nietzsche, 1998; Storr, 2002).
Dalam konteks perundungan, kehendak untuk berkuasa & manusia unggul ini nampak dalam bentuk tindakan intimidasi, ancaman, dan perundungan terhadap orang lain.
Dalam mengatasi fenomena bullying ini, pendekatan yang dapat diambil adalah dengan cara meredam kehendak berkuasa yang berlebihan dan mempromosikan pemahaman bahwa nilai suatu individu tidak diukur melalui dominasi terhadap orang lain.
Pendidikan empati dan penghormatan terhadap keberagaman perlu digalakkan untuk mencegah dan mengurangi insiden perundungan.
3. Analisis Masalah
Analisis masalah dari fenomena perundungan ini adalah, Perundungan atau bullying adalah fenomena sosial yang sangat kompleks dan mengandalkan berbagai faktor.
Berdasarkan konsep ‘kehendak untuk berkuasa’, kita bisa melihat perilaku perundungan sebagai upaya pelaku untuk mendemonstrasikan dan menegaskan kekuasannya atas korban.
Ini bisa mencakup tindakan yang beragam, mulai dari agresi fisik hingga bentuk-bentuk perundungan yang lebih halus seperti mengucilkan atau merendahkan orang lain.
Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan bahwa pelaku adalah individu yang lebih kuat, lebih dominan, dan lebih berkuasa.
Sementara itu, ide ‘manusia unggul’ bisa memberi kita cara lain untuk memahami perilaku perundungan. Dalam konsep Nietzsche, Übermensch adalah individu yang telah melampaui moralitas dan nilai-nilai konvensional dan telah menciptakan nilai dan moralitasnya sendiri.
Ini mungkin bisa diterjemahkan ke dalam konteks perundungan sebagai pembenaran bagi tindakan pelaku.
Pelaku perundungan mungkin percaya bahwa mereka adalah ‘manusia unggul’ dalam arti bahwa mereka berhak melakukan apa yang mereka lakukan dan bahwa tindakan mereka adalah benar menurut standar mereka sendiri, meskipun hal ini jelas bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku.
Secara keseluruhan, perundungan adalah perwujudan dari ‘kehendak berkuasa’ dan ide ‘manusia unggul’ yang berjalan melampaui batas-batas yang diatur oleh masyarakat.
Pendekatan terhadap penanganan masalah ini harus melibatkan pemahaman tentang bagaimana kekuasaan ditampilkan dan digunakan, serta bagaimana kita bisa meredam ‘kehendak berkuasa’ yang berlebihan dan mendidik individu untuk berlaku sesuai dengan tata krama dan etika yang berlaku.
4. Kesimpulan
Konsep ‘kehendak berkuasa’ dan ‘manusia unggul’ dari Nietzsche bisa digunakan untuk menganalisis fenomena perundungan.
Pelaku seringkali berusaha menunjukkan kekuasaan dan dominasi mereka, sedangkan korban berada di posisi yang lebih lemah.
Dalam beberapa kasus, pelaku mungkin merasa berhak melakukan perundungan, menciptakan moralitasnya sendiri yang bertentangan dengan norma sosial.
Keduanya mencerminkan cara individu melampaui batas-batas yang ditetapkan masyarakat guna menegaskan kekuasaannya.
Penanganan masalah perundungan harus memahami dinamika kekuasaan ini dan mencari cara untuk mengendalikan ‘kehendak berkuasa’ yang berlebihan dan mendidik individu dalam berperilaku sesuai tata krama dan etika yang berlaku. *
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Discussion about this post