Kedua, kesadaran para politisi yang di parlemen, di kabinet ataupun yang duduk di jajaran pengurus kepartaian. Sebagai wakil rakyat yang notabene sebagai kaum peduli rakyat dan wong alit, maka suara rakyat harus dilihat sebagai keterpanggilan untuk memperjuangkan hak-hak suci rakyat. Sebuah refleksi penting adalah mereka tak perlu segan-segan untuk mengambil sikap politik untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Andai landasan moral tentang kegagalan penanganan covid-19 dijadikan pijakan review, maka proses politik di parlemen akan lancar, meski harus tunduk pada mekanisme sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7A dan 7B.
Sebuah sikap yang sangat ditunggu rakyat adalah perjuangan pera anggota dan pimpinan Dewan Yang Terhormat untuk tidak “kemasukan angin” ketika mendesak pertanggungjawaban Presiden. Jangan mengkomoditaskan isu kegagalan penanganan covid-19 sebagai bargaining politik, apalagi gerakan taktis mencari al-fulus dan atau jabatan.
Integritas politik Dewan ini akan terjadi jika paradigma poltiknya tentang kekuasaan sudah lurus. Selagi paradigma politiknya masih berkutat pada kekuasaan itu fasilitas yang menggiurkan, ia atau mereka tak akan pernah menengok moralitas politik itu suci. Tak bisa dipungkiri, kondisi Dewan saat ini dipenuhi dengan karakter yang jauh dari elemen moralitas luhur. Kepentingan sempit semakin “menyatu” dalam diri politisi. Karena itu, problem besar yang menimpa masyarakat akibat covid-19 dipandang sebagai problem semata, yang sifatnya alami. Sementara, fakta bicara, covid-19 tidak hanya “membantai” umat manusia dalam jumlah ratusan ribu bahkan jutaan jiwa, tapi merembet ke persoalan asasi lainnya: ekonomi, pendidikan dan lainnya (politik).
Karena itu, Dewan Yang Terhormat harusnya bisa melihat jernih dampak destrukif dari pandemi covid-19. Cara pandangnya haruslah cerdas dan taktis: bagaimana segera mengakhiri pandemi itu. Sejalan dengan sistemnya presidential, maka bukan dengan cara melepaskan diri dari ikatan koalisi, tapi proses politik sebagaimana yang diatur konstitusi itu.
Kini, bagaimana idealnya sang Presiden? Sebagai penaggung jawab nasional, maka Presiden tak bisa menghindar dari pertanggungjawaban itu, meski ada “koordinator” atau penaggung jawab nasional yang ditunjuk untuk urusan pandemi itu. Sekali lagi, kita perlu mencatat, kegagalan itu faktual, dari sudut kesehatan, apalagi ekonomi dan politik yang kini kian “linglung” (bingung).
Jika nuraninya bersih, maka tak ada kata lain, Presiden akan jauh lebih terhormat jika segera lempar handuk, bertanda mundur dari kekuasaannya. Tak perlu merekayasa politik perpanjangan masa jabatan sampai 2027 atas nama pemulihan covid-19. Perjalanan pandemi covid-19 yang kini hampir dua tahun ini sudah cukup dijadikan pijakan untuk mereview kualitas dan komitmen penangananan covid-19 yang jauh dari harapan rakyat.
Jika Presiden malakukan hal terpuji (mundur), beliau tercatat dalam sejarah sebagai sosok yang mengukir sejarah baru kedua. Jika dulu, 21 Mei 1998, Pak Harto mundur dari jabatannya karena mempertimbangkan pencegahan konflik berdarah antar anak bangsa yang lebih luas demi keselamatannya, maka pengunduran diri Presiden kali ini merupakan ukiran budaya baru, yakni budaya sportif yang memang harus mundur akibat kegagalannya, sebagaimana yang sering kita saksikan di Jepang atau lainnya.
Kiranya, budaya baru yang bersendikan moralitas terpuji ini akan menjadi ukiran politik keteladanan yang akan dikenang anak-bangsa sepanjang sejarah. Tapi, mungkinkah ukiran emas itu terjadi? Skeptis memang. Dan hal ini, lagi-lagi karena cara memandang kekuasaan. Bukan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan publik dan sang Khaliq, tapi kekuasaan sesuatu yang menggiurkan.
Cara pandang itu menggambarkan kegagalan secara subtantif internalisasi nilai-nilai agama dan Pancasila. Agama hanya dilihat sebagai urusan privat dan ukhrawiyah, sama sekali terlepas dari dinamika kehidupan dunia. Inilah catatan keberhasilan sekulerisme yang sudah merasuk ke ranah setiap diri manusia, termasuk sang pemimpin. Sementara, Pancasila pun hanyalah verbal-sloganis-asesoris ideologi negara dan demokrasi.
Sebagai kader dan pendiri Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) perlu merefleksi , apakah bangsa ini harus terus bergelimpangan menjadi covid-19? Apakah anak bangsa ini harus kian terjajah dalam belenggu kemiskinan karena program ekonomi terkait covid-19 juga tak jelas, bahkan ada pihak tertentu yang mengeksploitasi untuk kepentingan sempit diri dan grupnya? Lalu, di mana kemerdekaan itu, yang setiap tahun – setiap 17 Agustus – dirayakan sebagai HUT kemerdekaan negeri kita? Makin membingungkan. *
Jakarta, 17 Agustus 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post