DKISP Kabupaten Banggai

Kolom Muhadam

Dialektika Tujuan Negara

499
×

Dialektika Tujuan Negara

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhadam Labolo

TUJUAN negara bahagia adalah konsep klasik dalam dialektika akademik. Setidaknya dari tinjauan spiritual dan filsafat. Konsep bahagia telah tumbuh lewat perkembangan agama-agama di dunia. Semua kitab suci seperti Zabur (10 SM), Taurat (12 SM), Injil (1 M), dan Quran (17 M) meletakkan tujuan manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki. Bahagia dalam pandangan spiritual tak hanya melulu soal kenikmatan di dunia, juga kebahagiaan di akherat. Disitu masalahnya, abstrak dan privatif.

Dari aspek filsafat politik misalnya, setiap manusia pada hakekatnya menginginkan kebahagiaan (Aristoteles,1887). Sebaliknya, semua hal yang merusak dan menciptakan penderitaan penting untuk dihindari. Gagasan itu melahirkan cara pandang hedonisme yang oleh Aristoteles di kritik dengan segala kelemahannya. Manusia boleh saja menikmati kebahagiaan, namun tak harus lupa diri.

Hedonisme mempengaruhi individu untuk memenuhi hasrat mencari kenikmatan apa saja guna memuaskan hidup manusia. Dampaknya  konsumtif dan eksploitatif. Gejala ini tumbuh pada raja-raja lewat kekuasaan tak terbatas. Raja hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyatnya yang papa. Disini ada yang kelebihan bahagia, dan ada pula yang sebaliknya.

Baca:  Dilema Kemitraan Dewan Lokal

Kedua konsep ini dalam perkembangannya menjadi cita bernegara, khususnya teokrasi. Teokrasi mewadahi keinginan untuk mencapai tujuan bahagia itu melalui seperangkat sistem yang memungkinkan aktivitas manusia bernilai pahala baik di dunia maupun akherat. Dalam agama ardhi seperti Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu pun relatif sama. Sampai hari masih ada kelompok yang mempertahankan model teokrasi.

Di dalam wadah teokrasi, pemimpin adalah representasi kepala negara/pemerintahan sekaligus kepala agama. Konsekuensinya tindakan kepala negara adalah manisfestasi kehendak Tuhan. Melawan kepala negara sama dengan melawan kehendak Tuhan. Konsepsi ini jelas berbahaya, sebab pemimpin tetaplah manusia yang dapat salah, dan bukan Tuhan yang tuna khilaf. Atas nama Tuhan dan kebahagiaan raja dapat bersikap semena-mena.

Baca:  Partai dan Mekanisme Pemilu

Kelemahan teokrasi yang di dukung filosof seperti Thomas Aquino (1225-1274) dimana pedang pertama memberi jaminan bagi pencapaian kebahagiaan duniawiah, dan pedang kedua membuka jalan menuju surgawiah faktanya mudah disalahgunakan raja bagi kepentingan dirinya. Kebahagiaan hanya milik keluarga raja, bukan rakyat kebanyakan. Itulah yang terjadi dalam sejarah kerajaan di dunia.

Di eropa, ekspresi kekesalan itu diwakili kritik sosial Martin Luther (1529) kepada pemimpin agama yang bersembunyi di balik kuasa negara. Kebahagiaan akherat bahkan dapat di tebus lewat secarik kertas yang dihargai dengan uang. Inilah awal kemunculan kristen protestan yang melawan politisasi agama demi kebahagiaan. Sejauh terkontrol, sejarah masih menyisakan Vatikan, dan campuran monarchi seperti Saudi Arabia dan Brunai.

Halaman sebelah

error: Content is protected !!