Antitesis atas kegagalan teokrasi meraih kebahagiaan itu melahirkan paham sekularisme (1864) oleh George Yakob Holyoake. Penyalahgunaan otoritas negara oleh kaum agamawan bahkan telah mengubur kelompok cerdik-cendekia di masa lalu seperti Copernicus, Gradano dan Galileo. Dimasa itu otoritas agama ogah hidup rukun dengan sains hingga memasuki era pencerahan. Banyak ilmuan di hukum mati.
Dalam paham sekularis, negara hanya bertujuan mengantar warganya mencapai kesejahteraan materil. Sementara urusan kebahagiaan rohani dan akherat adalah hak masing-masing individu yang dapat dicapai lewat asosiasi dan komunitas agama dalam negara. Namun begitu negara tetap memfasilitasi warganya untuk mencapai kebahagiaan rohani dengan mendirikan rumah ibadah dan menjamin kebebasan beragama.
Paham negara sekularis di anut lebih 90% di dunia. Ada yang bersifat sekuler murni seperti Amerika, Eropa, Turki dan simbiotik seperti Indonesia. Negara dalam hal ini bersikap netral terhadap upaya setiap warganya untuk bebas beragama guna mencapai kebahagiaan masing-masing. Di Indonesia negara bahkan memiliki departemen agama yang melayani kebutuhan semua agama dan kepercayaan.
Paham negara sekularis sejalan dengan munculnya konsep welfarestate< di abad 18. Negara kesejahteraan adalah antitesis dari negara penjaga malam (maachstate). Konsep ini tumbuh sejalan dengan paham teokratik yang otoriter dan sentralistik. Sedangkan welfarestate muncul sejalan dengan terbentuknya negara modern demokrasi, sekalipun DNAnya telah muncul di Yunani sejak abad ke 6.
Ide negara kesejahteraan tampak lebih rasional di usung negara dengan menggunakan berbagai variabel. Salah satunya dengan melihat variabel IPM seperti pendapatan, pendidikan dan kesehatan (UNDP, 1990). Ukuran lain misalnya usia, pendidikan, dan standar hidup layak. Mencapai kesejahteraan pada dasarnya meletakkan pondasi meraih kebahagiaan subjektif. Setidaknya dengan tiga variabel itu manusia dapat diasumsikan bahagia, minimal di dunia.
Oleh sebab kebahagiaan sifatnya subjektif, maka indeks kebahagiaan dipisahkan dengan indeks kemiskinan untuk mengukur kesejahteraan suatu negara. Bangladesh dan Bhutan contoh negara miskin tapi dinilai bahagia. Bandingkan dengan Amerika yang kaya namun relatif tak bahagia. Bahagia dalam perspektif spiritual bahkan dapat dicapai dengan hidup miskin dan sederhana (zuhud), tak perlu kaya seperti kaum petapa.
Dalam konstitusi kita, tujuan bernegara adalah mencapai kesejahteraan. Kebahagiaan bagian daripadanya. Hal itu dapat dilacak dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 (kesejahteraan umum) dan batang tubuh seperti pasal 34 ayat (1) yang diterjemahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2019 Tentang Kesejahteraan Sosial. Dewasa ini upaya mencapai kesejahteraan dapat dilihat melalui berbagai kebijakan diantaranya BPJS, PKN, BLT, KIP, PPFN, PIG, PPOC dll. *
Discussion about this post