BANGGAI – Tuduhan tak sedap dialamatkan kepada PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Perusahaan besar ini dituding telah meraup keuntungan besar dengan merusak hutan. Meski cukup pedas tuduhan itu, namun belum ada respon balik dari PT KLS. Termasuk kuasa hukumnya.
Pegiat lingkungan hidup Sulteng, Aulia Hakim dalam keterangan tertulis yang diterima wartawan, Jumat 13 Desember 2024 menilai, praktik buruk pelaku bisnis perkebunan sawit skala besar di Sulawesi Tengah, bisa dikatakan terus bekelanjutan tanpa adanya penegakan hukum.
Perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi sejak beberapa dekade silam tersebut sampai saat ini terus saja meraup keuntungan yang berlipat ganda dari praktik kotor.
Di Sulteng kata dia, terdapat 178 Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh 16 perusahaan perkebunan sawit. Dengan total luasan 128.265 ha yang tersebar di 7 kabupaten, yakni, Buol, Toli-Toli, Donggala, Morowali, Morowali Utara dan Kabupaten Banggai.
“Perusahaan-perusahaan ini tentu tidak serta merta melancarkan praktik bisnisnya tanpa adanya jejak yang kotor mereka lakukan,” kata dia.
PT KLS
Aulia Hakim mencontohkan di Kabupaten Banggai. Kata dia, terdapat salah satu perusahaan perkebunan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang telah lama eksis menjalankan praktik bisnisnya.
Namun melakukun praktik buruk dengan menanam sawit di wilayah Kawasan hutan.
Perusahaan milik keluarga Murad ini, dari awal berada di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai.
PT KLS hanya memiliki hak guna usaha (HGU) Nomor 15/HGU/1991 tertanggal 2 Oktober 1991 seluas 6.010 hektar.
Selain itu PT. KLS memiliki izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu hutan tanaman industri (IUPHHK HTI) kepada PT Berkat Hutan Pusaka (BHP).
Izin konsesi itu bernomor SK 146/Kpts-II/1996 dengan seluas 13.400 hektar yang terbit 1 April 1996.
Dalam laporan “Sawit Di Sulteng Mengalir Ke Perusahaan Berkomitmen Hijau” Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU), yang dipublikasikan melalui kanal Benua,id Oktober 2022 lalu menjelaskan, BHP merupakan perusahaan patungan antara PT KLS, pemilik 60% saham dan PT Inhutani. KLS mengakuisisi saham Inhutani, dan jadi pemilik tunggal.
Sejak itulah sambung dia, pembukaan lahan mulai dilakukan oleh PT KLS dengan dana pinjaman dari pemerintah untuk menanam sengon dan akasia sebesar Rp 11 miliar.
“Kenyataan lapangan berbeda, pengolahan HTI itu berubah jadi kebun sawit,” katanya.
Anehnya, IUPHHK HTI itu berada diatas HGU yang sudah terbit sebelumnya.
Namun, pada tahun 2005 terbit juga Izin lokasi yang diberikan oleh Bupati Banggai Sudarto saat itu kepada PT. KLS untuk keperluan usaha perluasan perkebunan kelapa sawit.
Izin lokasi itu bernomor SK 503/10.52/BPN tentang Perpanjangan Izin Lokasi dengan luasan yang sama, yaitu 6.010 hektar.
Sehingga izin-izin itu yang diduga menjadi alat untuk pembukaan lahan (land clearing) pada hutan alam hingga ke kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang.
Discussion about this post