PT KLS kemudian melakukan deforestasi bruto akibat dari aktivitas land clearing untuk perluasan perkebunan kelapa sawit mencapai 19.971 hektar dalam kurun waktu 20 tahun dengan rata-rata 951 pertahun.
“Menurut saya perusahaan seperti PT KLS ini bukan tidak lain ialah fakta bahwa dengan kepentingan modal yang begitu kuat membuat perusahaan ini seenaknya melakukan praktik kotornya. Menanam dalam kawasan hutan merupakan bukti kuat PT KLS adalah sumber bencana bagi masyarakat Banggai. Pemerintah tidak boleh menawar atau mengabaikan kasus seperti ini. PT KLS harus diberikan sanksi tegas dan harus tunduk terhadap hukum yang berlaku” tegas Aulia Hakim.
Selain itu, KOMIU juga mencatat detail deforestasi berdasarkan jenis Kawasan Hutan dilakukan oleh PT. Berkat Hutan Pusaka (Kini menjadi PT. KLS) di beberapa wilayah yang sudah ditebang atau dikonversi menjadi sawit.
Yaitu Area Penggunaan Lain (APL) 11.403,50 Hektar, Hutan Produksi (HP) 3.468,18 Hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1.209,39 Hektar, Hutan Lindung (HL) 112,83 Hektar.
Ironisnya, di wilayah Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang, ada seluas 3.532,46 Hektar mengalami deforestasi akibat ditanami sawit.
Selua 1.077 Hektar diantaranya merupakan pembukaan baru dari tahun 2019 sampai dengan 2021.
Dan 931 hektar eksisting sawit yang sudah ada serta 1.524 hektar belum teridentifikasi secara pasti, tapi diduga bisa jadi sawit muda.
Berdasarkan penelusuran dan temuan di lapangan, PT KLS, PT. Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN) dan PT. Pasangkayu diduga kuat melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Dimana, dalam Pasal 17 ayat (2) dilarang keras adanya kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di dalam kawasan hutan.
PT KLS juga diduga kuat melanggar Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, karena sudah merusak kawasan konservasi yang menjadi rumah bagi berbagai jenis flora fauna.
Hal ini juga kemudian diiayakan oleh pihak Gakumdu Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi.
Ia mengaku tahun 2017, pihaknya menemukan ada perambahan kawasan perkebunan sawit seluar 1.005 hektar di dalam kawasan konservasi SM Bakiriang.
Ia juga bilang, pihaknya menemukan ada 68 kepala keluarga (KK) penggarap sawit plasma dengan luas 250 hektar untuk diserahkan ke PT. KLS.
Dengan temuan itu, kata Subagyo, Oktober 2019, PT KLS bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah membuat kesepakatan perjanjian untuk rehabilitasi atau restorasi dalam kawasan konservasi yang sudah ditanami sawit. PT. KLS bersedia memfasilitasi lapangan pekerjaan untuk petani plasma dan melakukan relokasi.
Menurut Yayasan Kompas Peduli Hutan data evaluasi menggunakan Citra Satelit Sentinel tersebut dilakukan pada januari 2020 dan diverifikasi di lokasi pada bulan Februari 2022.
Sawit yang berada di dalam kawasan konservasi itu sudah sangat lama. Bahkan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah mengetahuinya, namun sampai hari ini belum diketahui proses penyelesaiannya.
“Kami meminta untuk pihak Gakum LHK dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten untuk segera memanggil dan memeriksa apakah PT KLS sudah melakukan kewajibannya atau PT KLS ini memang kebal hukum. Sebab secara rantai pasok yang dimana PT KLS tercatat menjadi pemasok PepsiCo Unilever dan Wilmar,” kata dia.
“AAK dan Nestlé juga masuk daftar dalam rantai pasok sebagai pembeli akhir produk sawit PT KLS melalui Cargill dan ADM. Sehingga penting juga melihat bahwa perusahaan pembeli CPO PT KLS memilik komitmen keberlanjutan ataupun mengadopsi kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE),” tutup Aulia Hakim.
Sementara itu, Kuasa Hukum PT KLS Dr. Andi Munafri SH, MH yang diminta tanggapan via whatsapp, belum memberi respon. *
**) Ikuti Luwuk Times di Google News
Discussion about this post