Guru memang mengajarkan pengetahuan dan sains, namun pada saat yang sama mengajarkan bagaimana berhemat dengan baik. Tentu kontras ketika melihat bagaimana masyarakat penghasil teknologi tinggi itu hanya menggunakan teknologi biasa. Rasanya malu berada disamping seorang kawan dosen Jepang dengan android seharga di bawah 5 jutaan.
Guru mendidik kemandirian muridnya. Sepanjang dapat dikerjakan sendiri, tak butuh orang lain. Kita dihargai karena karya besar kita. Di traktir orang lain kesannya lemah dan tak sanggup mandiri, alias miskin. Prinsipnya lebih baik mentraktir daripada di traktir. Keberhasilan kita ketika mampu membantu orang lain, sekaligus pertanda kita telah mandiri.
Kemandirian di dukung oleh pemerintah. Tak heran bila produk petani diproteksi dan di bayar mahal. Ketahanan pangan di jaga bersama. Ini memungkinkan kedaulatan pangan Jepang relatif kuat, sekalipun hanya 20% dataran yang layak dibudi-dayakan. Sisanya gunung dan perbukitan non pertanian. Sedemikian sempitnya sehingga subsidi pertanian di dongkrak tinggi.
Di Jepang, murid berlomba memperlihatkan prestasi. Prestasi menjamin investasi pendidikan terbaik di kemudian hari, sekolah di perguruan tinggi terbaik. Tak hanya murid, guru yang tak mampu mengantar muridnya ke jenjang terbaik tak jarang mengalami depresi, merasa gagal mengemban profesinya. Ini bukan soal apa, tapi tanggungjawab moral.
Soal moralitas di atas segala-galanya. Guru dan murid punya tanggungjawab moralitas yang sama, kejujuran. Karenanya, sukar menemukan kasus ijazah palsu, apalagi dalam peristiwa suksesi kepemimpinan. Itu aib yang tak tertanggungkan kecuali dimaafkan oleh publik. Kejujuran mengalir kemana-mana, termasuk kembalinya barang bila tertinggal di kereta api.
Sejauh ini, guru di Jepang tak hanya mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan, juga karakter, sebagaimana fungsi guru kata Daoed Joesoef (1980), yaitu fungsi profesional, kemanusiaan, dan kemasyarakatan. Fungsi pertama berkaitan dengan penguasaan materi dan metode mentranformasikan ilmu pengetahuan.
Fungsi ini umumnya gagal di metode. Banyak guru punya ilmu dan pengalaman tinggi, namun tak paham bagaimana mentrasformasikan pada muridnya. Guru gagal menyederhanakan yang complicated menjadi mudah. Bahkan sebaliknya, mengubah yang mudah menjadi sulit. Matematika, fisika, kimia, dulu menjadi pelajaran yang dijauhi ketimbang diminati.
Fungsi kedua berkaitan dengan fungsi kemanusiaan. Guru di Jepang mampu mentransmisikan nilai kemanusiaan kedalam sukma muridnya. Mereka menyadari bahwa perang hanya akan meninggalkan kehancuran fisik dan mematikan nilai kemanusiaan. Perang yang menyakitkan itu tak lain kecuali pelajaran kemanusiaan yang disimbolkan lonceng di Hiroshima dan Nagasaki.
Fungsi ketiga adalah fungsi kemasyarakatan. Suatu fungsi yang kini disisipkan dalam tridarma perguruan tinggi, agar institusi pendidikan tidaklah sekedar menjadi menara gading yang tuna lingkungan. Fungsi ini menjawab masalah sekaligus memastikan signifikansi ilmu pengetahuan yang diperoleh. Disinilah manfaat ilmu pengetahuan dan riset yang muaranya berakhir di tengah masyarakat.
Dalam keseluruhan itulah fungsi dan peran guru di Jepang bergerak. Kini peran guru itu menghasilkan return investmant yang luar biasa. Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah, seberapa jauh peran kita sebagai guru dalam menjalankan ketiga fungsi di atas hingga di kelak hari bangsa ini mampu melampaui kemajuan bangsa lain. Mungkin tak perlu bertanya pada rumput yang bergoyang. *
Ikuti terus berita kami di Google News
Discussion about this post