IKLAN

Luwuk

Kontradiksi Habitat Maleo di Era Migas

402
×

Kontradiksi Habitat Maleo di Era Migas

Sebarkan artikel ini
Maleo dewasa di konservasi ex situ PT Donggi Senoro LNG di pesisir Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. (Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia)

Aktivis Mongabay, Christopel Paino

KEBERLANGSUNGAN hidup satwa endemik Sulawesi, Burung Maleo yang dikenal pula sebagai ikon bumi Banggai Balantak Saluan (Babasal) mengalami kontradiksi manakala diperhadapkan dengan investasi Migas yang kian bergeliat di Kabupaten Banggai.

Untuk menguak fakta di balik pertentangan tersebut, kepada pembaca Luwuk Times, berikut ini redaksi hadirkan artikel yang dikeluarkan Mongabay, salah satu portal yang concern pada konservasi Sumber Daya Alam, sebagai atensi bagi setiap warga masyarakat Kabupaten Banggai atas kecintaan terhadap daerah beserta kearifan lokalnya.

Artikel ini terbagi dalam dua bagian, dengan judul “Jejak Maleo di Tanjung Matop, Hidup di Alam hingga Perusahaan”.

(Bagian 1)

Kamis yang terik, 8 Agustus 2019. Mansur Yasong bergegas mendorong perahu. Rekannya Suleman Gobel, bersiap menghidupkan mesin ketinting yang menempel di buritan. Keduanya adalah penjaga habitat burung maleo di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Kabupaten Toli-Toli. Setiap hari mereka membantu Thamrin Latery, Kepala Resort Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah, di pesisir Tanjung Matop.

Jarak Desa Pinjan ke Tanjung Matop, tempat maleo bertelur sekitar 20 menit menggunakan perahu. Di sini ada pos jaga, tempat penetasan telur, dan juga penangkaran. Tidak jauh dari tempat itu, sekira 500-an meter terlihat lubang-lubang pasir maleo bertelur.

Mansur yang berusia 70-an tahun, sejak 1985 sudah menjadi penggali telur maleo. Itu adalah tahun yang sama dengan Thamrin Latery, pertama kali ditugaskan di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop hingga kemudian menjadi kepala resort. Sedang Suleman yang 50 tahun itu, baru bergabung di 2012, sebagai penjaga habitat maleo.

Setiap hari mereka menggali telur dan memindahkan ke tempat penetasan. Jika sudah menetas, anakan maleo dipindahkan ke penangkaran. Mansur dan Suleman memberi makan buah kemiri dan buah kelapa pada anakan maleo hingga umurnya 1-2 bulan. Lalu dilepas ke hutan Tanjung Matop.

Hari itu, di tempat penangkaran 4X7 meter ada 64 anakan maleo. Selang beberapa jam, ada telur maleo menetas. Suleman segera memindahkan piyik yang berhasil menembus timbunan pasir satu meter itu ke penangkaran. Malam hari, telur maleo kembali menetas. Jumlahnya pun bertambah.

Baca:  Unsur Forkopimda Kabupaten Banggai dapat Jempol dari Kapolda Sulteng

“Setiap tahun, rata-rata 600 hingga 700 butir telur maleo kami tetaskan di sini,” kata Mansur yang diamini Suleman.

Maleo senkawor (Macrocephalon maleo) merupakan burung berstatus Genting (Endangered/EN) berdasarkan Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation Nature), badan konservasi internasional, dan juga terdaftar juga dalam Cites Appendiks I.

Pesisir Tanjung Matop adalah satu lokasi terbaik peneluran telur maleo yang puncaknya Mei, Juni, dan Juli, dan menurun di Agustus. Dalam catatan Suleman, hingga Agustus 2019, tercatat 660 butir telur berada di penetasan.

Thamrin Latery bersama Mansur pun aktif memberikan penyadaran kepada masyarakat sekitar, pentingnya menjaga maleo. Perlahan, kesadaran masyarakat mulai terlihat dengan berkurangnya jerat penangkap, selain menurunnya perburuan telur untuk dikonsumsi.

Puluhan tahun menjaga pelestarian maleo di Tanjung Matop, Thamrin mengaku berada pada satu titik kekecewaan. Ini karena anakan maleo hasil kerja keras mereka dibawa keluar, untuk dilepas bersama perusahaan di tempat lain. Hal itu bermula dari perintah atasannya melalui telepon. Namun Thamrin enggan menyebut nama pemberi instruksi itu

“Saya diminta untuk mengirim anakan maleo ke Luwuk di Kabupaten Banggai, yang akan dilepas di hutan Bakiriang untuk acara perusahaan,” kata Thamrin di rumahnya di Desa Pinjan, Toli-Toli Utara.

Permintaan anakan maleo itu terjadi pada 2017 dan 2018. Kepala desa yang mengetahui perintah itu mempertanyakan sekaligus melarang Thamrin. Namun menurutnya karena perintah atasan, mau tidak mau ia harus melaksanakan dan membuat suatu alasan agar kepala desa menerima.

Saat pertama kali mengirim anakan maleo, mereka memakai mobil rental. Anakan maleo umur 1-2 bulan itu diletakkan di bagian belakang mobil menggunakan styrofoam bekas pembungkus kulkas. Permintaan 60 ekor itu dilebihkan dua pasang. Total 64 individu. Yang berangkat ketika itu adalah Thamrin sendiri, ditemani Mansur dan Suleman Gobel, serta seorang sopir.

Baca:  Perlunya Edukasi Publik Kewaspadaan Dini Terkait Kebakaran

“Tujuannya ke Kota Luwuk di Kabupaten Banggai. Tapi karena jaraknya jauh, kami hanya membawa anakan maleo sampai Palu saja,” tambah Suleman.

Jarak dari Desa Pinjan ke Kota Toli-Toli sekira 2 jam. Sementara dari Kota Toli-Toli ke Kota Palu, waktu normal hingga 10-12 jam. Waktu yang sama juga bisa ditempuh dari Kota Palu ke Kota Luwuk, Banggai. Anakan maleo itu diberi kepada salah seorang pegawai BKSDA di rumahnya di Kota Palu.

Thamrin mengira perintah itu akan berhenti. Ternyata di 2018, perintah yang sama ia terima. Suara telepon dari seberang meminta ia mengirimkan 30 anakan maleo dengan tujuan serupa.

“Saya iyakan. Tapi kali ini saya putuskan untuk tidak ikut mengantar.”

Thamrin memerintahkan Suleman membawa anakan maleo itu ke Palu, bersama sopir mobil rental. Setelah berangkat sekitar jam 10.00-an pagi dari Desa Pinjan, keduanya memutuskan istirahat siang di Kota Toli-Toli sambil minum kopi. Mobil diparkir dengan jendela tertutup, saat cuaca terik-teriknya.

“Sekitar satu jam kami istirahat, saya balik ke mobil untuk periksa anakan maleo. Saya kaget, 15 ekor mati,” kata Suleman.

Sempat panik, Suleman menelepon Thamrin dan menceritakan kejadian itu sembari menunggu perintah lanjutan. Thamrin menghubungi atasannya di Palu dan menanyakan langkah apa yang harus diambil.

“Suruh mereka balik dan ganti lagi anakan maleo yang mati,” kata Thamrin meniru perintah atasannya.

Mansur Yasong memperlihatkan telur maleo yang ia dapatkan di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Setelah itu, telur-telur dibawa ke tempat penetasan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Anak laki-laki Mansur bernama Kivlan ditugaskan mengambil 15 anakan maleo di penangkaran sebagai pengganti. Namun karena siang hari dan air laut surut, Kivlan harus dua jam jalan kaki ke pesisir Tanjung Matop. Setelah selesai, giliran Suleman yang berangkat ke Palu, menyerahkan permintaan itu. Menurut mereka, tidak ada berita acara untuk penyerahan tersebut.

error: Content is protected !!