Dalam perspektif pemerintahan _(kybernologi,_ Ndraha, 2002), pengelolaan subkultur kekuasaan tampaknya jauh dari tiga prinsip utama, yaitu _berkuasa semudah mungkin, menjalankan seefektif mungkin,_ dan _mempertanggungjawabkan seformal mungkin._ Praktek sistem politik kita memperlihatkan bahwa pola sirkulasi kekuasaan dari satu rezim ke rezim selanjutnya tidaklah mudah dan teramat mahal. Jalan panjang yang mesti dilewati oleh setiap paslon secara logika memungkinkan mereka menghimpun modal demi mencapai puncak kekuasaan. Itu bukan sepenuhnya kesalahan mereka, tapi lebih karena pilihan mekanisme dalam sistem demokrasi yang tak rasional. Demokrasi liberal semacam itu membutuhkan jumlah, bukan isi. Akibatnya banyak paslon terpilih karena jumlah kepala, bukan isi kepala. Jumlah kepala penting sebagai dasar legitimasi, tetapi isi kepala pun tak kalah pentingnya sebagai kompas yang akan membawa daerah sejauh menuju kesejahteraan masyarakat. Realitas ini mengingatkan kita pada ajaran guru filosof Socrates (399 M), jangan paksakan demokrasi langsung pada masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah, sebab yang akan terpilih bukan mereka yang kompeten, tetapi mereka yang populer dan bermodal besar.
Berkali-kali dalam berbagai kesempatan ceramah dihadapan DPRD se-Indonesia, saya mengatakan bahwa menihilkan _money politic_ dalam pesta demokrasi adalah hal mustahil, baik lewat mekanisme langsung maupun tak langsung. Bila dideteksi, laju perjalanan uang panas itu mengalir deras pada dua segmen utama, kalau tidak pada sekelompok elit parpol dalam bentuk gelondongan, tentu berpencar ke khalayak ramai yang didatangi bak penerima bantuan panti asuhan. Artinya, mau langsung atau tidak, tetap saja penyakit kronis _money politic_ itu hampir mendarah-daging bagi masyarakat tuna _integrity_. Pertanyaan yang lebih realistis dalam konteks ini adalah mekanisme manakah yang lebih mudah dikontrol, efisien, efektif, rendah kerumunan, kebal epidemi, serta tak mudah menodai integritas moral masyarakat. Bahwa ia tetap berpotensi dihadiri _cukong_ tentu tak dapat dihindari, sebab kita sedang memilih pemimpin dibumi, bukan malaikat di surga. Dalam peristiwa pilkada yang terlibat bukan saja _cukong,_ juga birokrat opurtunistik dan politisi kelas lokal.
Jadi, yang dapat kita lakukan hanyalah meminimalisasi sampai titik terendah, yaitu mengubah mekanisme sistem demokrasi, seraya meningkatkan sistem pengawasan. Bukankah jauh lebih efektif bila PPATK mengontrol transaksi pada 45 orang wakil rakyat daripada memburu serangan fajar pada 450 ribu pemilih irrasional dan lapar. Dengan sendirinya kita tak membutuhkan tahapan panjang yang memeras kocek paslon lewat _cukong,_ menghindari kerumunan sosial, mengurangi resiko keterlibatan penyelenggara pilkada mulai KPUD, Bawaslu, dan organisasi TPS ditingkat terbawah. Semua perubahan mekanisme itu sekaligus menjadi sistem anti apidemi, menurunkan _political cost_ paslon, mengurangi konflik, mengefisienkan APBD, serta menihilkan berbagai keperluan yang tak perlu dan mengkuatirkan, termasuk menjauhkan moral masyarakat dari infeksi epidemi korupsi. *
(Penulis adalah Dekan Fakultas Politik Pemerintahan IPDN)
Discussion about this post