Namun demikian, politik transaksional memungkinkan para komprador Jokowi tetap memaksakan kehendaknya, melalui perpanjangan masa jabatan Jokowi. Jika hal ini yang terjadi, berarti – secara alamiah – akan berhadapan dengan kekuatan rakyat yang tak terkendali. Bagi rakyat sangat sederhana cara pandangnya: Jokowi gagal menciptakan kesejahteraan yang wajar seperti yang diamanatkan konstitusi, bahkan kian memperlebar jurang perbedaan kaya-miskin; gagal mendahulukan kepentingan pribumi dibanding asing, sehingga sumber daya alam kian terkesplorasi tanpa kendali, sehingga kedaulatan energi kian tercengkram kelestariannya. Juga, gagal menciptakan keadilan hukum dan politik. Catatan HAM juga buruk. Bahkan, gagal menciptakan tata-kelola pemerintahan yang reduktif terhadap panorama korupsi.
Panorama kegagalan itu semua akan menggerakkan berbagai elemen bangsa ini jika dipaksakan perpanjangan masa jabatannya menjadi tiga periode. Dasar pemikirannya sederhana: satu periode plus saja sudah menunjukkan kinerja yang penuh masalah bagi kepentingan bangsa dan negara, apalagi menambah tiga periode. Ada logika yang sangat mis (keliru). Namun demikian, atas nama politik pemaksaan kehendak, rezim bukan tak mungkin mengerahkan seluruh kekuatannya yang siap menghantam siapapun yang berseberangan.
Dalam hal ini, meski dengan kepentingan yang berbeda, tidak tertutup kemungkinan bahwa PDIP dan Gerindra akan tampil sebagai barisan lawan politiknya dengan sang penguasa. Dalam hal ini terdapat dua langkah yang dilakukan, yaitu saluran kebijakan: parlemen dan Mahkamah Konstitusi yang sama-sama bisa dikemdalikan oleh kedua parpol itu. Sisi lain, pengerahan kekuatan lapangan. Dalam hal ini aparat keamanan dari barisan TNI dan Polri – secara faktual – ada dalam genggaman kekuasaan kedua parpol itu, meski proses politik administratifnya diangkat Presiden. Dengan demikian, kedua jalur politik tersebut akan membuat loyo rezim jika tetap mengerahkan kekuatan paksanya.
Mencermati peta kekuatan politik yang berpotensi menghancurkan kepentingan bangsa dan negara, maka Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) – secara bijak – menegaskan bahwa pemaksaan kehendak sungguh merugikan kepentingan negara dan rakyatnya. Karena itu, di tengah krisis muktidimesional ini harusnya menjauhkan diri dari keinginan “mengotak-atik” amandemen, terutama terkait Pasal 7 UUD NRI 1945.
Pemimpin negara haruslah bijaksana bahwa pemaksaan kehendak memperpajang masa kekusaan hanyalah dinikmati oleh negara komprador yang jelas punya agenda strategis bagi negeri ini. Sangat a nasionalis. Sementara, sang presiden akan menjadi the common enemy bagi bangsanya sendiri, sehingga kelak tidak akan nyaman hidupnya pasca kekuasaannya berakhir. *
Jakarta, 4 September 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post