Keempat, realitas penyelenggaraan Formula-E menggiring sebuah kebanggaan tersendiri bagi bangsa negeri ini. Yaitu, rasa bangga (pride), yang – dalam konteks sosial – cukup penting maknanya. Yaitu, bisa menumbukan rasa percayaan diri. Bangsa ini bukanlah Inlander, karenanya tak boleh minder saat berhadapan dengan komunitas internasional manapun dan dalam sektor apapun. Modalitas sosial ini penting dan bisa disett up secara konstruktif untuk kepentingan lain, katakanlah ekonomi (bisnis).
Dan memang – sebagai hal kelima – perhelatan itu memang dirancang untuk mendorong gerakan ekonomi mikro, untuk seluruh level: tidak hanya untuk pelaku ekonomi kelas “kakap”. Para pelaku ekonomi kelas “bawah” berhak juga menikmati kue ekonomi sebagai multiplier effect. Dan data bicara, seluruh lapisan pelaku ekonom dapat kebagian kuenya sesuai forsinya, mulai dari awal pembangunan sarana dan prasarananya yang bernilai sekitar Rp 344 milyar ini melibatkan banyak korporasi, sampai pada saat-saat penyelenggaraan.
Di luar aspek bisnis, serangkaian ikhtiar mewujudkan pagelaran yang super sophisticated itu menyerap sumberdaya manusia yang tidak sedikit, sesuai bidang dan keahliannya. Karenanya, tidaklah berlebihan bahwa perhelatan Formula-E sedari awal memang didesain untuk mendrive sektor ekonomi, berbasis pendapatan (income) karena terlibat dalam proses kerja untuk ketersediaan sarana dan prasarana. Juga, pendapatan berbasis partisipasi bisnis yang lahir dari celah itu, yang bersifat langsung. Sementara, hotel dan pusat-pusat kuliner juga akan kebanjiran permintaan.
Maka, tidaklah mengherankan ketika terjadi pandemi covid-19 justru justru semakin terdorong bagaimana mencari solusi ekonomi konstruktif. Dan perhelatan Formula-E menjadi salah satu jawaban nyata. Itulah sebabnya, program atau agenda perhelatan Formula-E yang telah diputuskan bersama DPRD Provinsi DKI Jakarta jauh sebelum pandemi pantang disurutkan apalagi gagal.
Karenanya, mengundang banyak tanya ketika muncul gerakan sistimatis yang berusaha menggagalkan perhelatan Formula-E sampai ke titik akhir. Sampai-sampai seluruh BUMN pun menolak untuk mensponsori perhelatan akbar yang bergengsi itu. Bahkan, terdapat rumor, ada pihak tertentu sengaja membeli 200 tiket tapi dengan maksud buruk (tidak nonton agar terlihat kosong saat perhelatan). Tapi, niat buruk itu gagal total (gatot). Fakta bicara: penonton membludak. Mencermati gerakan sistimatis untuk menggagalkan perhelatan Formula-E, mencul renungan, apakah mereka tak memahami makna implikatif-konstruktif dari penyelenggaraan Formula-E, padahal – menurut prediksi Bank Indonesia – berpotensi membukukan profit antara Rp 400 – 500 milyar? Itu baru catatan material (keuangan). Bagaimana dengan nilai-nilai non-keuangan seperti tumbuhnya rasa percaya diri sebuah anak bangsa yang bisa disett up sebagai modalitas? Atau, apakah memang tidak mampu mengkalkulasi korelasi positif secara ekonomi, sosial dan lain-lain dari perhelatan itu?
Memang, akan bermunculan rasa kagum dan apresiasi dari masyarakat domestik dan internasional terhadap sang tokoh penyelenggara Formua-E itu. Tapi, realisasi agenda itu merupakan kinerja kolaboratif. Tak ada cerita klaim monopoli. Karenanya, sungguh lucu dan menggelikan katika muncul gerakan akrobatik yang terus berusaha menggagallan perhelatan Formula-E di Jakarta hanya karena pikiran picik: dikaitkan nuansa politik kontestatif (kepresidenan). Cemburu buta.
Gubernur DKI Jakarta tegaskan dalam sambutannya jelang perhelatan Formula-E, “Perhelatan ini bukanlah kongres partai politik. Ini adalah pertandingan olah raga. Menjadi tanggung jawabnya selaku Kepala Daerah DKI Jakarta sesuai janji yang telah diprogramkan. Ditonton dunia. Dan karenanya menjadi martabat negara”. Sebuah pernyataan yang sejatinya terlepas dari muatan politik praktis. Tapi, itulah sikap kalangan kontrarian yang cenderung menterjemahkan secara a priori dengan kaca mata politik. Penerjemahan politik yang out of line and disconnected. Masyarakat internasional pun geli dan mentertawakan bacaan terjemahan itu.
Akhir kata, Partai Negeri Daulat Indonesia menilai perhelatan Formula-E – sedari awal – memang sudah muncul resistensi, tapi dari kalangan tertentu yang memang sempit jangkauan pemikirannya dan jauh dari karakter kenegarawanan. Kalangan kontrarian terus melancarkan maneuver dan agitasinya untuk menggagalkan perhelatan akbar yang bergengsi, berkelas dunia, sarat dimensi kemanusiaan, pro lingkungan dan kepentingan nasional. Ironis memang upaya destruktif itu. Maka, dengan kehendak Allah, kita saksikan bersama paronama perhelatan Formula-E di International E-Prix Sircuit – Ancol (Jakarta). Namun, itulah indahnya perjuangan. Sungguh beda dibanding adegan balap motor di Mandhalika beberapa waktu lalu yang full support dari negara, dalam kaitan anggaran ataupun dukungan berbagai kementerian. *
Jakarta, 7 Juni 2022
Penulis adalah Ketua Umum Partai Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post