Satu hal penting dari makna menghidupkan kembali GBHN dan atau sejenisnya adalah keberadaannya menjadi barometer kepemimpinan berhasil dan gagalnya. Melalui GBHN, terdapat celah rakyat untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Manakala kepemimpinannya gagal didasarkan pada standar yang jelas, berapa besar capaian mewujudkan GBHN. Manakala dinilai gagal, maka — melalui MPR — rakyat dapat meminta pertanggungjawaban Presiden. Permintaan ini tak lepas dari kinerja eksekutif memang tak bisa lepas dari sorot mata rakyat. Itulah konsekuensi sistem demokrasi dimana rakyat berdaulat penuh untuk mengontrol sebagai korelasi penyerahan haknya untuk dikelola negara/pemerintah. Sistem kontrol rakyat haruslah dilihat sebagai keseriusan pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat.
Sementara, PPJPM dan atau RPJPN — sebagai akibat perubahan fungsi dan wewenang MPR — diletakkan sebagai artikulasi perumusan cita-cita (visi-misi) yang dijanjikan saat berkontestasi. Dan itu sama sekali tidak dijadikan barometer untuk menilai kinerja pemerintah. Meski gagal dalam mewujudkan RPJPM-RPJPN, rakyat tak bisa menggugatnya, apalagi sampai menuntut kelengseran Presiden. Meski rakyat diparhadapkan penderitaan yang sangat nyata akibat ketidakmampuan memimpin negara, rakyat tetap tak bisa menuntut lengser akibat keterbatasan kinerja pemerintah. Memang, MPR dapat melakukan impeachment, tapi terkait hal-hal yang tercela menurut UUD dan itu pun kecil kemungkinannya MPR dapat memprosesnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD NRI 1945. Berbelit, selagi panggung parlemen masih dikuasai Pemerintah.
Proses prosedural itu — setidaknya — mendorong dua implikasi. Pertama, proses yang bottle neck itu mendorong rakyat yang sudah tak tahan akan melakukan gerakan ekstraparlementer. Jika hal ini terjadi, maka bukan hanya prahara politik, tapi — sangat mungkin — diawali dengan kerusuhan sosial seperti penjarahan, bahkan tragedi ketidakmanusiaan karena sentimen antietnis dan lainnya. Kedua, ketidakpercayaan publik terhadap istitusi lembaga parlemen, bahkan Mahkamah Konstutusi (MK) yang dinilai tidak responsif atau tidak peka terhadap kondisi obyektif bangsa dan negara. Parlemen dan lembaga lainnya yang terkait kehilangan legitimasi.
Ketidaksetujuan Kehadiran Kembali GBHN
Di samping para pihak yang setuju dengan kehadiran kembali GBHN, terdapat juga kalangan yang tidak setuju atau keberatan. Tentu dengan argumentasi rasional yang layak kita cermati. Pertama, sebagai konsekeunsi sistem pemilihan presiden-wakil presiden yang bersifat langsung, pasangan ini — saat maju kontestasi — diharuskan menyampaikan visi-misinya. Ketika dirinya menang, maka visi-misi ini dijadikan rancangan pembangunan selama pemerintahannya. Itulah yang kita kenal dengan RPJPM dan RPJPN. Konsekuensi sistem pemilihan langsung ini menjadikan GBHN menjadi tidak relavan lagi.
Kedua, kehadiran kembali GBHN dinilai bisa mengunci ruang gerak presiden terpilih. Penguncian ini bisa dinilai tidak adil. Sebab, seperti kita ketahui, pasca reformasi dan amandemen ketiga, masa jabatan presiden – wakil presiden hanya lima tahun dan maksimal dua periode (sepuluh tahun). Karena itu, penguncian melalui GBHN itu akan mengakibatkan keterbatasan presiden dan wakil presiden terpilih dalam mewujudkan cita-cita dalam ruang waktu yang terbatas itu.
Ketiga, konsekuensi sistem pemilihan secara langsung itu membuat pertanggungjawaban presiden-wakil presiden langsung kepada rakyat sebagai pemilih, bukan lagi MPR yang dahulu sebagai mandataris. Proporsi pertanggungjawaban kepada rakyat inilah, maka yang dijadikan dasar penilaian adalah RPJPM da RPJPN. Keempat, catatan historis menunjukkan, sistem pertanggungjawaban yang dahulu melalui MPR, mengakibatkan sistem presidensial rusak. Karena sejumlah faktor politik dan pembangunan yang tertuang dalam GBHN, posisi presiden mudah digoyang manakala MPR dipakai sebagai sarana menjatuhkan presiden. Praktik politik seperti ini sesungguhnya hanya ada pada sistem parlementer. Karenanya menjadi ambigu. Di satu sisi, konstitusi menegaskan negara kita menganut sistem presidential, tapi dalam praktiknya parlementer. Ada inkonsistensi pilihan sistem pemerintahan.
Kelima, kekuatan dominan yang sejatinya bersistem parlementer itu, sejarah mencatat terjadinya tragedi pemakdzulan, yang “dikelola” oleh lembaga MPR. Sementara, penguasaan lembaga MPR bisa dibangun oleh sejumlah kekuaatan elitis, sebagai partai ataupun golongan tertentu. Jika mencermati proses pemakdzulan terhadap Soekarno, saat itu lembaga MPR dikuasai golongan tertentu, terutama Angkatan Bersenjata yang berpengaruh pengaruh besar dalam ruang oval MPR. Abdul Haris Nasution yang saat itu sebagai Ketua MPRS — menurut catatan saksi sejarah — menginstruksikan orang tertentu untuk mengunci sejumlah anggota MPRS di ruang masing-masing, terutama yang dinilai pro Ore Lama. Dengan penguncian sementara, pidato Nawaksara Soekarno ditolak. Akhirnya, Soekarno kehilangan mandat MPRS.
Sementara, jika kita cermati proses politik pemakdzulan terhadap Gus Dur, itu pun tak lepas dari nafsu politik elit tertentu dimana Megawati selaku Wakil Presiden punya pengaruh besar terhadap anggota MPR. Karena kontribusi politik Megawati, di samping elitis lainnya, proses politik pemakdzulan terhadap Gus Dur tidak mengalami kendala politik yang berarti. Memang ada inside story yang sangat personal yang mendorong Ketua Umum PDIP harus melakukan pembiaran proses pemakdzulan terhadap Presiden Gus Dur saat itu.
Keenam, pelaksanaan GBHN berpotensi punya implikasi pada hubungan yang tidak egaliter antara presiden dan MPR. Hal ini karena presiden harus melapor pada MPR terkait pelaksanaan GBHN.
Hubungan yang tidak seimbang itu mengganggu mekanisme saling kontrol antarlembaga, sehingga rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, di antaranya pemakdzulan itu.
Itulah pro-kontra menghidupkan kembali GBHN. Mencermati sikap pro-kontra itu, Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) menilai bobot argumentasi barisan protagonis atas kehadiran kembali GBHN lebih rasional dan karenanya perlu dipertimbangkan lebih serius. Tampaknya, yang perlu dicerna lebih jauh adalah formulanya. Jika menghadirkan kembali GBHN model dulu, hal itu menimbulkan konsekuensi hukum ketatanegaraan, yang dengan sendirinya harus mengembalikan posisi dan fungsi MPR. Karena itu, GBHN yang harus dihadirkan kembali adalah dalam formula baru, yakni rancangan pokok-pkok haluan negara (PPHN).
PPHN ini menjadi pedoman bagi desain pembangunan yang dipersiapkan RPJPM dan atau RPJPN. Dengan menjadikan PPHN sebagai pedoman, maka setiap program pembangunan akan tetap berjalanan kesinambungannya tanpa terganggu oleh pergantian kekuasaan. Inilah PPHN sebagai reformulasi GBHN, yang posisi hukumnya — saat merumuskan PPHN — cukup di MPR, yang produknya tercatat sebagai ketetapan MPR. Lebih kuat secara konstitusi jika dibandingkan sebagai UU. *
Jakarta, 31 Juli 2021
Penulis adalah Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)
Discussion about this post