Oleh : Ama Gaspar
MENYALAHKAN korban untuk situasi atau kasus apa saja barangkali sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia.
Hampir dalam semua kasus, menyalahkan korban terasa lebih luwes dilakukan, ketimbang memberi dukungan atau berempati.
Contoh paling dekat kebiasaan menyalahkan korban atau victim blaming ini, sering kali ditujukan pada korban kekerasan seksual atau korban perkosaan.
Paling sering terdengar komentar menyudutkan korban dalam kasus kekerasan seksual dan perkosaan. “Ah karena pakaiannya terlalu seksi,” atau “makanya perempuan jangan jalan sendiri tengah malam,” “ah colek di tangan doang, kamu terlalu serius.”
Alih-alih memberi dukungan, pikiran banyak orang lebih luwes mengutarakan kalimat menyalahkan korban.
Padahal kekerasan seksual dan perkosaan dialami oleh berbagai kalangan usia dan gender, mulai dari anak kecil, remaja, dan usia dewasa.
Lalu komentar apa yang akan keluar dari pikiran Anda, ketika mengetahui atau mendengar anak kecil berseragam SD pulang dari sekolahnya dan diperkosa paman yang tinggal di rumahnya?
Komentar apa yang akan Anda tuliskan di akun media sosial Anda, ketika mendengar korban begal payudara yang pakaiannya sangat tertutup?
Satu hal yang perlu tegas dipahami bersama, bahwa pakaian yang dikenakan korban (perempuan dan laki-laki), bukan tindakan provokatif dari korban.
Kekerasan seksual dan perkosaan dilakukan karena pelaku secara langsung ingin menunjukkan kekuasaannya pada korban.
Kebiasaan menyalahkan korban sering kali datang dari mana pun, kawan, keluarga, bahkan aparat. Tidak hanya dalam kasus kekerasan seksual atau perkosaan, kebiasaan menyalahkan korban telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama.
Ini berlaku pula pada korban penipuan. Baru-baru ini publik gempar karena kasus pembunuhan yang dilakukan dukun penggandaan uang di Banjarnegara.
Belasan korbannya mati karena racun. Praktik ini telah dilakukannya berulang kali. Apa tanggapan warganet ketika mengetahui nyawa belasan korban berakhir di tangan dukun pengganda uang ini?
Sekali lagi, pola yang sama berulang. Komentar-komentar menyalahkan korban—yang bahkan statusnya sudah meninggal—sangat menyakitkan.
Discussion about this post