Adapun moral, menurut Frans Magnis Suseno (Labolo, 2016: 11) pada dasarnya berkaitan dengan ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah dibuat tertulis ataupun lisan, tentang bagaimana manusia itu harus hidup dan bertindak agar bisa menjadi manusia yang baik.
Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan, bahwa etika pada dasarnya merefleksikan kehendak seseorang dalam berperilaku dengan mengikuti standar moral tertentu ketika berinteraksi dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Sementara moral itu sendiri bersumber atau diperoleh dari nilai-nilai luhur atau ajaran tertentu (bisa berdasarkan agama atau filsafat), ataupun ideologi (Pancasila) yang telah diterima sebagai dasar pedoman hidup bersama dalam suatu kelompok, masyarakat, bangsa, dan/atau bernegara.
Jika demikian, maka selanjutnya apa yang dimaksud dengan etika dan moral pemerintahan? Merujuk pada buku Modul Etika Pemerintahan (Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 2016), karya Dr. H. Muhadam Labolo, bahwa etika pemerintahan dapat dinyatakan dalam beberapa kategori, antara lain etika dalam organisasi pemerintahan, etika kepemimpinan pemerintahan, dan etika aparatur pelayanan publik. Yang mana pada ketiga unsur fungsi penyelenggaraan pemerintahan tersebut diharapkan terimplementasi nilai-nilai etik pemerintahan yang menjadi landasan moral bagi penyelenggara pemerintahan.
Menurut Rasyid (1999: 48-49), keberhasilan pejabat pemerintah didalam memimpin pemerintahan harus diukur dari kemampuannya mengembangkan fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat (Labolo, 2016:51).
“Etika pemerintahan sebaiknya dikembangkan dalam upaya pencapaian misi itu. Artinya setiap tindakan yang tidak sesuai, tidak mendukung, apalagi yang menghambat pencapaian misi itu, semestinya dipandang sebagai pelanggaran etik. Mereka yang menyalahgunakan kekuasaan (power abuse) untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan dengan merugikan kepentingan umum, pada tingkat pertama sudah melanggar etika pemerintahan” (ibid).
Asas-Asas Pemerintahan yang Baik
Tulisan singkat dan sederhana ini tentu tidak dimaksudkan membahas secara umum dan menyeluruh mengenai asas-asas pemerintahan yang baik.
Untuk keperluan yang terkait dengan pembahasan topik ini saya membatasinya dengan mengambil asas-asas dimaksud pada sumber norma atau kaidah-kaidah dalam ketentuan yang berlaku, diantanya Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa, Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotise, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Daerah Kabupaten Banggai No. 1 Tahun 2001 Tentang Perusahaan Umum Daerah Air Minum.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundng-undangan sebagaimana disebutkan diatas, saya mencoba meneropong sejauh mana gerak roda pemerintahan daerah kita. Apakah masih berjalan pada relnya sesuai ketentuan peraturan tersebut? Atau, adakah kaki-kaki penyangganya telah tergelincir pada interes kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan keluarga yang berdampak pada kerugian masyarakat umum (publik)?
Sebagai tolok ukurnya tentu saya akan mengggunakan fakta peristiwa yang telah terjadi selama masa Bupati Amirudin mengendalikan dan mengarahkan kerja-kerja birokrasi pemerintah daerah kita. Apakah berjalan sesuai visi-misi yang telah dicanangkan?. Atau terjadi penyimpangan yang secara sadar dan sengaja dilakukan? Jawabannya niscaya terkonfirmasi sesuai fakta dan data yang ada.* (bersambung)
Penulis adalah advokat dan Ketua DPC Perkumpulan Pengacara Dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI) Kabupaten Banggai.
Discussion about this post